Part 6

24 3 0
                                    

Matahari telah menunjukkan kepakan cahayanya di cakrawala, meskipun sesaat. Namun, pria yang berkaos putih tanpa lengan itu masih berbaring di atas karpet putih bersama rasa kantuk. Dering telepon yang sedari tadi mendatangi alam mimpinya mulai membuatnya risih. Dengan pergerakan malas, tangannya meraba-raba lantai yang dingin, mencari benda pipih yang terus saja berdering sembari bergetar.

Dia mendapatkannya, mengusap layar ponsel yang menyala. Kelopak mata pria itu belum sepenuhnya terbuka.

"Hem." Bahkan membuka mulut saja dia seolah tak sanggup.

"Aku sudah di ruang tengah. Aku juga membawakanmu makanan, segera bersiap dan kita berangkat ke TV 8."

"Hem ... ya, ya." Dia memang mengiyakan, tapi tidak menuruti permintaan Karan. Badan pria itu kembali terhempas ke hamparan karpet bulu yang menghadap langsung ke jendela. Dia masih sangat berharap menemukan perempuan yang selalu bersemayam di dalam ruang mimpinya tadi.

Tiba-tiba!

Karan muak dengan kelakuan Veer yang seenaknya itu, dia mendobrak pintu kamar Veer dan berkacak pinggang di samping tubuh pria itu.

"Hei, Tuan Muda! Di luar sedang gerimis dan sepertinya akan ada hujan deras, apa kau akan melewatkan waktumu bertemu hujanmu?" Untung saja, Karan tahu cara ampuh untuk mengakhiri mimpi-mimpi Veer.

Benar saja, ketika kata 'hujan' masuk ke pendengarannya, kelopak mata Veer terbelalak, dia duduk mengamati luar jendela yang menampilkan suasana sedikit berkabut.

"Ta-tadi sepertinya matahari bersinar terang," kata Veer heran.

"Seperti itulah dirimu, kau tidak akan tahu berapa lama akan bersinar terang. Hidup akan terus bergulir, bisa jadi, saat ini kau bersinar. Dan saat kau larut dalam rasa nyaman dan enggan bangkit dari keterpurukan, badai akan menghampirimu tanpa kau pernah bersiap untuk menghadapinya. Bangun dan terangi jalan hidupmu." Setelah mengatakan itu, Karan langsung pergi tanpa mendengar dahulu apa reaksi Veer.

Veer terhenyak, menangkap seberkas maksud dari ucapan Karan barusan. Dia menoleh, memperhatikan punggung Karan yang mulai tenggelam seiring pintu tertutup.

Sekali pun raganya membawa beban berat, ditambah sengatan sakit kepala akibat terkena efek samping alkohol yang semalam dikonsumsi, Veer tetap mempertahankan sikap profesionalnya. Veer bangkit dan segera bersiap menemui perjalanan yang mungkin akan membuatnya sibuk seharian.

Usai bersiap, Veer keluar kamar. Menggunakan sweater coklat berpadu dengan celana jeans denim, bintang ternama itu berjalan menyusuri ruang tengah, dia mengabaikan Karan yang sedang menikmati menu sarapan buatannya sendiri.

"Hei, kau mau ke mana?" Pertanyaan itu hanya disambut angin lalu.

Veer memegang gagang pintu, menoleh ke belakang. "Menerangi jalanku." Setelahnya, dia membuka pintu, berjalan gesit ke halaman rumah. Di sana sudah ada supir pribadinya yang menyambut dengan senyuman hangat.

"Pagi, Tuan."

"Hari ini kau bisa istirahat, Sagar. Aku akan menyetir sendiri."

"Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu, kunci sudah ada di dalam mobil."

"Oke. Kau bisa pergi."

Sagar undur diri. Sementara Karan, pria itu berlari terbirit-birit sembari mengunyah sandwich yang memenuhi mulutnya. Veer mengabaikan kelakuan sahabatnya itu, dia membuka pintu kemudi dan menyalakan mesin.

"Hei, hei, tunggu aku!"

Karan mencoba membuka handle pintu, sialnya, Veer sengaja mengunci semua pintu mobil. Dia yang kesal menunduk, menangkap ekspresi Veer yang dingin nan datar.

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang