Dalam keramaian sekali pun, Haseena merasa kesepian, apalagi setelah Prem dan Hania pamit sejenak membeli sarapan. Kini, Haseena yang menunggu di kursi tunggu hanya ditemani hembusan angin yang berseliweran menerbangkan helai pasmina biru muda.
“Siapa yang sebenarnya ingin mereka jemput?” tanya Haseena menatap pintu kedatangan di ujung sana. Terlihat, ada banyak kerumunan orang seperti tengah menunggu seseorang, beberapa dari mereka, terutama para gadis membawa buket bunga, ada pula yang membawa kalung bunga. Haseena mengabaikan saja, dia lebih tertarik melukiskan wajah kekasihnya di sebuah halaman kosong pada jurnal pribadinya. Ujung pena itu menari-nari bebas, memunculkan sesosok wajah yang sangat dia rindukan. Baru setengah jadi, sorot matanya menemukan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis, dia melepas cincin tersebut, memandanginya seraya menyuguhkan kenangan bersama Veer.
Haseena menutup jurnalnya, dia berdiri dengan sorot mata masih tertuju pada cincin. Tiba-tiba, sebuah bahu menabrak tangannya, membuat cincin itu menggelinding bebas.
“Cincinku!” Hampir saja Haseena berteriak. Dia mengikuti arah cincin itu berlarian.
Tak disangka, cincin tersebut mengarah ke kerumunan orang di depan pintu kedatangan. Terpaksa, Haseena menyelinap masuk ke kerumunan orang yang heboh karena kemunculan seseorang dari balik pintu kedatangan. Seisi bandara sesak dengan teriakan satu nama.
“VEER!”
“RAJVEER HIRANI!"
“VEER!”
“VEER!”
“SELAMAT DATANG VEER!”
Tentu, Haseena yang tengah mengambil cincin di antara kaki-kaki penggemar Rajveer Hirani melongos.
“Hai, apa kabar?”
“Suara itu?” Secepat mungkin, Haseena menarik cincin dari kerumunan. Dia berniat menenggakkan punggung dan buru-buru pergi, sayangnya, kejadian yang tidak menyenangkan terjadi. Ujung pasminanya yang menjuntai ke lantai ketika dia berjongkok tak sengaja diinjak seseorang. Dan ketika dia berdiri, pasmina yang seharusnya menutupi kepalanya tersibak begitu saja.
Sontak, kejadian itu mendapat sorotan dari semua orang. Tanpa terkecuali, Veer.
“Haseena?”
Mengabaikan dirinya yang telah ditemukan oleh Veer, Haseena cepat-cepat mencari pasminanya yang berada di lantai. Namun, dia hilang arah saat Veer sudah berada di hadapannya, memasangkan jaket miliknya untuk menutupi kepala Haseena. Setelah itu, dia memboyong Haseena masuk ke dalam mobil. Semua orang masih tak bergeming menyaksikan apa yang dilakukan idola mereka. Tidak ada satu pun komentar yang keluar. Bahkan, Karan sampai membeku di tempat, membiarkan saja Veer membawa Haseena pergi dengan mobil yang telah dia siapkan.
“Ja-jadi ... perempuan itu Haseena?” tanya Karan seusai memberikan kunci mobil pada Veer.
***
Atmosfer di antara keduanya masih canggung. Haseena masih memegang jaket Veer untuk menutupi kepala, sementara Veer terus-menerus menoleh, memastikan perempuan itu tidak lagi pergi darinya. Sesekali, pandangan mereka beradu.
“Veer.”
Pria itu tidak menjawab, dia memilih menepikan mobil. Dia menoleh, memasang senyum singkat, lalu memberikan pelukan hangat.
“Aku ini suamimu, bukan musuhmu. Untuk apa kau bersikeras memisahkanku darimu?” ucap Veer dalam peluknya.
Haseena tertegun, dia terkejut bukan main atas pernyataan yang diucapkan Veer. Pelukan mereka berakhir.
“Aku ... aku hanya ....”
“Ssst ... Hania sudah menceritakan semua padaku. Semuanya. A-aku memang belum sepenuhnya ingat, tapi setelah Hania mengirimkan foto-foto pernikahan kita, aku sama sekali tidak meragukan hubungan di antara kita, Haseena.” Veer tersenyum. Sampai-sampai dia tidak tahu sudah berapa kali dia memberikan senyumnya pada Haseena. “Kau tahu. Sebenarnya, kedatanganku ke Pune adalah bagian dari rencana Prem dan Hania. Pak Vikram tentu tidak akan membiarkanku pergi ke luar kota tanpa alasan, jadi ... aku menyusun rencana dengan Hania seolah-olah aku akan mengadakan konser di sini. Adikmu itu cerdik sekali.”
Belum ada tanggapan dari Haseena. Perempuan itu sama sekali tidak berminat mendengarkan ucapan Veer. Sebab, batinnya terus meronta-ronta kesakitan dengan sebuah keputusan yang telah dia ambil.
“Apa kau tega menghancurkan senyumnya yang penuh harapan itu?”
“Veer.”
Tawa kecil Veer mengudara. “Ada apa, hem? Aku yakin, kau ingin mengatakan banyak hal padaku. Baiklah, katakan, aku akan mendengarkan.”
Wajah Haseena yang teduh terangkat. “Em ... ke-kenapa kau membakar lukisan yang aku lukis di Goa waktu itu? Kau juga membuat video klip yang payah, apa faedahnya mempertontonkan orang yang mabuk-mabukkan dan menari dengan wanita-wanita menyebalkan itu, ha? Apa tidak ada ide lain? Itu adalah video klip terburuk yang pernah aku tonton. Aku juga tidak suka dengan lirik lagunya.”
“Lalu?” Veer menahan tawa yang hampir-hampir meledak.
“Seakan-akan aku melihat dirimu yang penuh keputusasaan. Kau bersedih atas apa, ha? Tangismu itu bukan tangis palsu, aku tahu itu.”
“Jika kau tahu. Lantas, mengapa kau tidak datang dan menghapus kesedihanku, Haseena? Kau pergi tanpa alasan. Tapi sekarang, aku sudah mengetahui alasan kepergianmu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi dariku, tidak lagi. Jika semua yang kumiliki sekarang membawamu pergi, aku akan meninggalkan semuanya agar bisa bersamamu. Karier, popularitas, itu tidak berarti apapun jika aku harus kehilangan perempuan yang aku cintai.” Veer mengambil tangan Haseena, menggenggam erat.
“Aku pernah mendengar dari seseorang, kematian yang paling menyakitkan adalah saat kau jatuh cinta. Kau akan kehilangan dirimu sendiri untuk mendapatkan orang yang kau cintai. Sekali pun kematian datang, aku akan menyambutnya dengan senang hati, karena aku telah mati karena cintamu.”
Haseena menarik tangannya. Dia seketika sadar jika pria itu sudah berbicara melantur.
“Sudah berapa botol bir yang kau minum saat di pesawat, ha? Bicaramu aneh sekali.” Sewot Haseena.
“Ya ... hanya dua.”
“Hanya? Dua? Beruntung sekali aku tidak melihatnya, kalau sampai kau sekali lagi ketahuan minum, aku pasti akan melempar botol bir itu ke laut,” cecar Haseena.
Veer terbahak-bahak. “Seperti waktu kita pertama bertemu, ya ‘kan?”
“Iya. Kau tahu, saat itu kau sangat-sangat mabuk ....”
Perbincangan mereka terus berlanjut sampai akhirnya Veer menepikan mobil di sebuah taman kota. Mereka duduk di sebuah bangku kosong ditemani daun-daun yang jatuh diterpa angin.
“Andai kau tidak pernah bertemu Paman Ranjit dan Prem, mungkin kau sudah berada di Chennai. Lalu ... bagaimana dengan ibu tirimu? Apa dia tidak mengabarimu lagi?”
“Untuk apa? Aku yakin, dia sudah menikmati uang sogokan dari Tuan Vikram di kampung halamannya. Lagi pula, sejak awal aku dan Hania tidak pernah dianggap sebagai anaknya. Seperti yang kau katakan, aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan Paman Ranjit dan Prem. Melalui Paman Ranjit pula, aku menemukan kembali hidupku di dalam kisah hidupmu. Aku sempat tidak percaya kalau kita dulu ....”
“Menikah.” Veer menyela dengan seutas senyum. Dia memiringkan badan, menghadap Haseena. “Kau adalah obat dari segala luka yang hadir di hidupku. Aku tidak memiliki siapapun, kedua orang tuaku bercerai dan meninggalkanku dalam kemalangan. Di jalanan yang sesak, Pak Vikram menemukan suaraku, mengangkat suaraku ke permukaan agar didengar semua orang. Aku mengira, Pak Vikram adalah manusia terbaik yang pernah aku miliki, beliau sudah kuanggap pahlawan, bahkan orang tuaku sendiri. Namun aku salah, manusia terbaik tidak akan pernah mengambil kebahagiaan manusia lainnya. Memisahkanmu dariku adalah kejahatan terbesar yang tidak akan aku maafkan.”
Haseena menggeleng. “Kau salah. Kau salah besar, Veer. Justru, akulah yang telah memisahkanmu dari orang sebaik Tuan Vikram. Kebaikan yang telah Tuan Vikram tidak ada apa-apanya dibandingkan kehadiranku. Benar yang dikatakan Tuan Vikram, kau hanya akan terluka saat mencintai satu perempuan, kau akan kuat bila berjalan bersama para penggemarmu, orang-orang yang telah mendukungmu sebelum aku dan kebaikan Tuhan yang dititipkan padamu. Aku ... aku hanya sumber masalah baru yang datang setelah Disha menghancurkan harapanmu.”
Veer menepikan pandangan sejenak. Dia tahu kemana arah pembicaraan Haseena. Senyum manis yang berdiri kokoh berubah menjadi senyum kecut.
“Lalu apa yang kau mau? Kau ingin ingin pergi lagi dariku? Iya?!” Tekannya. Veer memegang kedua pundak istrinya. “Kemana lagi kau akan pergi dariku? Sudah kukatakan, aku ini suamimu, bukan musuhmu, kau tidak perlu menjauhiku seolah aku akan menyakitimu. Beritahu padaku, apa saja yang telah Pak Vikram katakan untuk mencuci otakmu. Katakan, Haseena!”
“Akulah yang akan menyakitimu jika kita terus bersama. Dan soal Tuan Vikram, kau tidak perlu tahu apa yang dia katakan.” Haseena memohon dengan kedua tangan. “Tolong, sebelum aku pergi, penuhi satu permintaanku sebagai seorang yang mencintaimu, ceraikan aku.”
Pria itu sampai tak habis pikir dengan permintaan Haseena. Tawa Veer meledek, dia tak kuasa melihat wajah istrinya yang tulus memohon. Dia terus tertawa, menertawai pertemuan yang membawanya pada permintaan sebodoh itu.
“Kau pikir, itu lucu? Hei, aku bersusah payah memancingmu keluar dari tempat persembunyian, lalu saat aku menemukanmu, kau malah memintaku melepasmu?” Veer meraup wajah, kemudian menarik tubuh Haseena ke dalam pelukannya. “Kau tidak perlu pergi atau memintaku pergi darimu. Itu Tidak akan terjadi. Mari berbahagia bersama, bukankah itu janji kita?”
“Mengapa takdir harus securang ini saat kita saling mencintai?” Tambah Veer enggan melepas Haseena, biar pun perempuan itu memberontak dalam tangisnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)
Roman d'amour[Juara 1 Event Writing Warathon Boungenville Publisher] Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan. ❥➳♥❥ Ada banyak bilik-bilik kisah cinta abadi yang akan selalu menempatkan dua perkara dalam satu cerita. Pertemuan dan perpisahan. Pertemuan...