Punggung Karan menghantam dinding usai didorong cukup keras oleh Vikram. Karan menyeka darah yang mengalir dari sudut bibir setelah mendapat beberapa pukulan.
“Kenapa kau tidak becus mengawasi satu orang saja, ha?!” Vikram kembali meluapkan amarahnya ke Karan. Dia menarik kerah baju Karan, membuat wajah geramnya terpampang jelas di depan mata Karan. “Katakan, katakan di mana Veer sekarang! Jangan coba-coba untuk menipuku lagi.”
Pria yang sudah babak belur itu menggeleng pasrah. “Saya sungguh tidak tahu di mana Veer, Tuan. Saya bersumpah, saya benar-benar tidak tahu. Veer ... dia.” Karan ragu membuka suara mengenai kepergian Veer bersama Haseena yang dia lihat di rekaman CCTV kemarin. Dia takut salah arah. Tapi sekarang, nyawanya dalam bahaya, dia sungguh tak berdaya.
“Sudah kuperingatkan, jangan mencoba menipuku, Karan. Aku tahu, kau sedang menyembunyikan sesuatu.” Vikram melepas cengkeraman tangannya kasar. “Ayo. Katakan ... katakan!” Bentaknya.
Karan mulai kacau. Dia tidak bisa menyimpan lebih lama lagi. “Se-sebenarnya ... Veer.”
“Kenapa? Kenapa dengan Veer?” Vikram mengangkat dagu Karan. “Ayo katakan!”
“Veer pergi bersama Haseena. Ta-tapi sungguh, saya tidak tahu kemana mereka pergi.”
Kemarahan Vikram bertambah dua kali lipat. “Sial! Lagi-lagi perempuan itu penyebabnya. Awas saja kau Haseena, aku tidak akan memaafkanmu.” Dia berjalan mendekati laci meja kerja, mengambil sebuah pistol, lalu mengisi beberapa butir peluru.
Tentu, Karan dibuat ketar-katir, takut menjadi sasaran empuk peluru-peluru itu. Melihat Vikram yang sibuk memasang peluru, Karan berniat melarikan diri dari ruang kerja Vikram. Sayangnya, pria berjenggot itu bergerak lebih cepat sembari menodongkan pistol dari belakang.
“Kau tidak mungkin tidak tahu di mana Veer.”
Karan mengangkat tangan di atas kepala. “Su-sungguh, Tuan. Saya tidak tahu mereka pergi kemana.”
Vikram menurunkan pistol. “Pikirkan baik-baik untuk memancing mereka keluar. Dalam tiga hari kau tidak bisa menemukan Veer, peluru-peluru ini akan dengan senang hati mengoyak kepalamu.”
Karan menelan ludah kelu.
“Ba-baik, Tuan.” Setelah itu, Karan dibiarkan pergi.
Seperginya Karan, Vikram menelepon anak buahnya untuk mencari keberadaan Veer dan Haseena. Mereka hanya diberi waktu tiga hari. Karena jika tidak, ada banyak jadwal manggung dan konser Veer di berbagai kota yang harus dibatalkan. Vikram tidak akan membiarkan itu terjadi, apalagi, dia baru saja membersihkan nama Rajveer Hirani hari ini di konferensi pers.
“Perempuan itu harus lenyap dari sisi Veer. Perempuan itu hanya benalu yang hanya akan mengganggu keindahan hidup Veer.” Vikram meremas ponselnya kuat-kuat.
***
Manik mata Veer berkeliling ke sekitar, dia tidak ingin kecolongan lagi menikmati segelas bir seperti tadi pagi. Merasa aman, Veer membuka tutup botol bir, menuangkannya ke sebuah gelas dan tak sabar meneguknya. Bibirnya baru menyentuh tepi gelas saat suara dehaman Haseena menahan pergerakan tangan.
Haseena menggeleng-geleng, dia menghampiri Veer. Dia menurunkan gelas dari tangan Veer, kemudian beralih ke wastafel untuk membuang bir yang berada di sana.
“Ck, Haseena ja-jangan ....” Veer berkeluh kesah.
“Jangan apa? Kau sudah tahu, aku tidak akan membiarkanmu minum lagi, tapi kenapa kau masih keras kepala, ha?” ucap Haseena. Tangannya sibuk mencuci gelas.
“Ayolah, apa salahnya satu gelas saja? Please.”
Haseena berbalik. Dia melihat sekitar, seolah tengah mencari sesuatu. Dia menemukan sebotol cairan pembersih lantai sisa mengepel siang tadi. Diambil botol itu dan dibuka tutupnya. Sedangkan Veer? Pria masih tidak paham apa yang sedang dilakukan Haseena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)
Romance[Juara 1 Event Writing Warathon Boungenville Publisher] Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan. ❥➳♥❥ Ada banyak bilik-bilik kisah cinta abadi yang akan selalu menempatkan dua perkara dalam satu cerita. Pertemuan dan perpisahan. Pertemuan...