Part 2

56 6 0
                                    

Jutaan bintang menyala di tengah kanvas hitam cakrawala tanpa sinar sang surya. Deburan ombak yang berayun membelai pasir pantai menemani kesendiriannya. Di bawah naungan sinar rembulan dan hangatnya api unggun, Haseena menuliskan jejak perjalanannya seharian ini di jurnal pribadi.

Sebuah kaki berlumuran pasir mencuri kosentrasinya. Mata Haseena bergerak naik, mengekspos siapa sosok yang baru saja menginjakkan kakinya di pantai itu. Haseena tersenyum pada Veer, seolah menyambut  keputusan terbaik yang diambil pria tersebut. Setelah meletakkan jurnal pribadinya di atas tas, Haseena bangkit. Tanpa aba-aba, dia langsung disambut pelukan hangat dari Veer yang membuatnya sedikit terhuyung ke belakang.

“Veer.”

“Bantu aku melihat sekali lagi indahnya dunia ini,” ujarnya. “Kau benar, sekali pun mati, aku tidak akan mendapatkan cintaku. Justru, aku akan kehilangan banyak cinta dari orang-orang yang tulus mencintaiku.”

Haseena mendorong dada Veer, dia yakin, pria itu belum sepenuhnya tersadar dari pengaruh alkohol. “Berhentilah mengoceh.” Dia membantu Veer duduk di kursi lipatnya.

“Beristirahatlah, kau pasti menghabiskan banyak energi untuk sampai di sini, aku akan membuatkanmu teh hangat.”

Veer mengangguk-angguk saja sembari menunjukkan botol wine di tangan kanan. Sepanjang Haseena membuat teh, pandangan Veer tidak bisa jauh darinya, sekali pun langit di atas sana terlukis lebih indah, matanya tak bisa teralihkan dari wajah Haseena yang meneduhkan sanubarinya.

Sebelum memberikan secangkir teh hangat pada Veer, Haseena meminta agar pria itu membuang botol wine di tangannya. Tapi, Veer menggeleng seraya menyembunyikan botol itu ke belakang punggung.

“Beritahu padaku, siapa namamu, Nona. Setelah itu, aku akan memberikan ini padamu.”

“Haseena.”

“Haseena? Kau muslim?”

“Ya. Sudah-sudah, kemarikan botol bodoh itu!”

Veer memberikan botol wine tersebut pada Haseena untuk ditukar dengan segelas teh hangat. Karena pusat perhatiannya tertuju pada Haseena, Veer main  meneguk teh yang masih panas, alhasil, dia harus menyemburkan teh di dalam mulutnya. Tetapi, bukan hanya itu yang membuatnya kepanasan, tindakan Haseena yang main melempar botol wine -nya ke pantai turut mengundang keterkejutan.

“Astaga, apa yang kau lakukan?!” tukas Veer tiba-tiba berdiri, menghampiri Haseena di bibir pantai.

Haseena tidak menghiraukan ucapan Veer dan kembali menghadap api unggun. Sementara, pria itu membuntutinya dengan seribu tanya.

“Aku bertanya, kenapa kau membuang wine- ku. Kau tahu berapa harga satu botol wine yang baru saja kau buang, ha?”

Haseena duduk di sebuah kayu di tepi api unggun, melipat kedua tangan di atas lutut yang tertekuk. Dia menoleh ke Veer.

“Aku tidak tahu berapa harga satu botol wine yang baru saja aku buang, tapi aku tahu seberapa berharganya dirimu untuk orang-orang yang tulus menunggumu kembali bernyanyi di atas panggung. Kau bisa bangkit bahkan tanpa minuman bodoh itu, Veer. Apa yang kau harapkan dengan menyiksa dirimu sendiri? Jangan menjadikan dirimu seolah-olah manusia paling menyedihkan di dunia ini.” Kerlipan mata Haseena menunjuk hamparan bintang di atas sana. “Sampai kapan kau akan mengasingkan diri seperti ini? Sudah dua bulan lebih orang-orang mencarimu? Apa kau tidak merindukan mereka? Setidaknya ... saat kau membenci satu orang, jangan kau taruh kebencian itu pada semua orang.”

“Entahlah. Aku masih hancur.”

“Wanita bernama Disha itu boleh saja berpaling darimu, tapi, apa kau pernah sekali saja mendengar kabar para penggemar berpaling darimu? Mereka menanti suaramu kembali mengguncang dunia mereka.”

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang