“Kau yakin bisa menghadapi ibu tiri dan keluargamu sendirian?” tanya Veer sebelum Haseena turun.
Haseena menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku sudah sangat lelah sekarang, aku hanya ingin istirahat, terserah apa yang akan mereka lakukan padaku. Terima kasih, Veer. Suatu hari nanti, aku akan datang dan mengembalikan semua kebaikan yang kau berikan padaku.”
Veer memberikan senyum hangat. “Tentu. Aku akan menunggu hari itu.”
“Baiklah. Perjalanan ini selesai dengan ending yang buruk. Lanjutkan perjalananmu. Maaf, jika aku menganggu waktumu untuk survey lokasi pembuatan video klip terbarumu,” ujar Haseena.
“A-aku berbohong soal itu.”
Haseena tersenyum simpul. “Aku tahu itu. Ya sudah, aku pamit. Assalamualaikum.”
Veer baru bisa membalas salam setelah Haseena benar-benar pergi dari pandangannya. Entah mengapa, dia merasa terikat dan tak ingin jauh sedetik pun dari Haseena. Jiwanya menghilang setengah saat perempuan itu tak lagi nampak dari pelupuk mata.
Veer belum pergi dari depan rumah Haseena. Dia mengambil ponsel yang bersemayam berhari-hari di dashboard. Dia menghidupkan ponsel, menunggu deretan notifikasi pesan dan panggilan yang terus berdatangan di layar.
“Ini bukanlah akhir kisah cinta ini, Haseena. Justru, ini adalah awal kisah cinta itu sendiri.” Kemudian, tanpa membalas atau membaca satu pesan pun, dia meletakkan ponsel di atas dashboard dan kembali melanjutkan perjalanan menuju apartemen.
***
“Jadi kau sudah paham bukan apa akar permasalahannya?”
Haseena mengambil anggukan kecil tanpa suara. Setelah merenungi ucapan pria yang sengaja bertamu ke rumahnya itu, Haseena telah mengambil keputusan.
“Baguslah. Rupanya, kali ini kau berpikir jernih. Lagi pula, kita akan diuntungkan dalam banyak hal jika kau menyetujui ucapan Tuan Vikram. Terutama, ancaman dari keluarga Yash, dan ... rumah kesayangan ayahmu ini tidak akan disita bank,” celetuk Sonam –ibu tiri Haseena dan Hania.
Setelah mengiyakan apa yang Vikram minta, Haseena bergegas ke kamar tanpa memberitahu apa yang terjadi di dalam pelariannya lima hari ini. Hania yang menyadari gelagat murung kakaknya menyusul, membiarkan ibu tirinya bermain negosiasi menentukan nominal uang di atas kertas cek.
Hania membuka pintu, menemukan sang kakak yang berdiri melamun seraya memandang keluar jendela. Tidak ada hal menarik di luar sana, hanya kicau klakson yang tak berhenti bersahutan.
“Aku pikir, kakak akan menolak permintaan Tuan Vikram. Kenapa? Kenapa Kakak selemah ini? Aku sudah mendengar apa yang telah terjadi di antara kau dan Kak Veer. Seharusnya Kakak tidak diam saja. Aku tidak terima kalian menghadapi nasib buruk seperti ini!”
Hania beranjak pergi, tetapi, Haseena sigap menahan pergelangan tangannya. Hania menoleh.
“Apa. Apa yang terjadi padaku dan Veer? Apa yang kau tahu Hania?”
Gadis berusia sembilan belas tahun itu memasang ekspresi panik. Dia lupa jika kakaknya belum mengingat apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya dan Veer.
Haseena memposisikan badan menghadap Hania. Aura dingin sangat kental di wajahnya.
“Tuan Vikarm hanya menyuruhku menjauhi Veer yang jatuh cinta padaku. Karena dengan jatuh cinta, itu akan menghancurkan hidup Veer. Aku menyanggupinya karena aku tidak memikirkan nasibku sendiri, tapi juga Veer.” Haseena makin menatap adiknya intens. “Tapi. Dari perkataanmu tadi, kau seperti telah mengetahui sesuatu yang besar. Apa yang kau tahu tentangku dan Veer, Hania?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)
عاطفية[Juara 1 Event Writing Warathon Boungenville Publisher] Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan. ❥➳♥❥ Ada banyak bilik-bilik kisah cinta abadi yang akan selalu menempatkan dua perkara dalam satu cerita. Pertemuan dan perpisahan. Pertemuan...