Part 10

16 2 0
                                    

Hanya desiran ombak yang terbuai belaian angin malam menemani kelautan di dada. Sekalipun, semesta sudah memberitahu siapa perempuan yang selama ini memenuhi pikirannya, tetapi tetap saja, Veer belum dapat berlari dari berbagai pergolakan pertanyaan yang bersarang di kepala.

“Haseena ... bagaimana kau hadir di hidupku dan menjatuhkan hatiku? Di mana waktu yang telah mempertemukan kita itu? Apa pertemuan itu pernah ada? Bila benar adanya, mengapa kau mengasingkan diriku dalam pertemuan tempo hari? Mengapa kau menyuguhkan kepura-puraan? Apa kau sengaja melakukannya karena pria itu?” Veer mengangkat botol wine yang baru habis setengah. Pandangannya tidak beralih menatap botol wine di tangan.

Kemudian, Veer bangkit, menghampiri bibir pantai, menjemput percikan ombak yang perlahan berayun menabrak kedua kakinya. Di saksikan keindahan matahari terbenam, Veer melempar botol wine sejauh yang dia bisa. Botol wine itu kini tenggelam entah kemana, lalu, tatapan matanya jatuh ke hamparan ombak yang bergerak perlahan menjauhi bibir pantai.

“Aku tidak tahu berapa harga satu botol wine yang baru saja aku buang, tapi aku tahu seberapa berharganya dirimu untuk orang-orang yang tulus menunggumu kembali bernyanyi di atas panggung. Kau bisa bangkit bahkan tanpa minuman bodoh itu, Veer. Apa yang kau harapkan dengan menyiksa dirimu sendiri? Jangan menjadikan dirimu seolah-olah manusia paling menyedihkan di dunia ini.”

Veer mengangkat tangan kanan, menatap dalam-dalam telapak tangannya yang merindukan genggaman seseorang.

Dinding hatiku telah runtuh. Berapa banyak lagi kepingan ingatan yang bersemayam untuk menyembunyikanmu dariku? Jika benar, di waktu itu kau milikiku, mengapa takdir sejahat itu padaku? Kesalahan apa yang membuat Tuhan menuliskan kisah tak lengkap ini? Mengapa Tuhan membuat hati saya mengembara tanpa tujuan?”

Dalam hitungan detik, matahari benar-benar meninggalkan pantai yang selalu menjadi saksi kepergiannya.

Veer mendesak napas dengan berat. Suasana berubah gelap, begitu pula kehidupannya.

“Saya akan menemukan Anda, mengutarakan jutaan tanya yang telah memburu ketenangan saya.”

***

Sudah susah payah Karan menyusul Veer untuk mengakhiri liburannya, Karan harus menerima kenyataan bahwa rekannya itu sudah pulang sejak semalam.

“Jika Veer pulang, kenapa kau dan Dev tidak ikut pulang, ha?”

Satya menggaruk tengkuk leher belakang. “Soalnya, Veer meminta kami tetap di sini. Katanya, dia akan kembali dalam beberapa hari setelah menyelesaikan urusannya.”

“Urusan apa?!” tanya Karan sedikit membentak.

Dev menyentuh pundak Karan, mencoba menurunkan emosinya. “Aku tahu kau pasti sangat lelah menuju kemari. Soal Veer, kita bahas nanti, mandilah dan setelah itu kita lanjutkan pembahasan ini. Aku akan memesan makanan di luar.”

Karan berkacak pinggang, tidak mengatakan iya atau menolak arahan Dev.

Dev pergi keluar. Di depan vila, setelah menawari situasi, dia menelepon Veer, meminta petunjuk tentang urusan apa yang Veer lakukan sekarang.

Di sisi lain, Veer yang tengah menyetir dikejutkan oleh dering ponsel. Dia mengambil earphone yang sudah terkoneksi dengan ponsel, lalu memasang ke telinga.

“Ya, Dev.”

“Veer. Tiba-tiba saja Karan datang dan dia marah-marah karena kau tidak ada di sini. Sekarang, aku sedang berusaha mengalihkan dia, tolong, beritahu aku, sebenarnya kau kemana dan dengan tujuan apa?”

Dari intonasi bicaranya saja Veer bisa merasakan kecemasan Dev.

“Katakan pada Karan, aku sedang di perjalanan bertemu hujanku, dia pasti akan paham.”

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang