Part 11

14 2 0
                                    

Bangunan bergaya victoria gotik yang merupakan salah satu stasiun kereta populer di Mumbai telah terlewat. Haseena menepuk-nepuk kepala kursi kemudi.

“Kenapa kau tidak berhenti? Chhatrapati Shivaji Maharaj sudah lewat.”

“Memangnya siapa yang bilang kita akan naik kereta?” Ungkap Veer sedikit menoleh.

“Lalu? Kita akan naik pesawat? Aku tidak membawa uang sebanyak itu.”

Veer meringis. “Tidak juga,” balasnya santai.

“Apa maksudmu? Jangan bilang kita akan ke Kashmir dengan mobil.” Haseena menerka.

“Tepat sekali.”

“Kenapa?”

Veer balik bertanya. “Kenapa apanya?”

“Apa kau tidak tahu, Kashmir itu jauh, Veer. Butuh dua hari dua malam untuk sampai di sana. Itu hanya akan membuang waktumu. Dan ke sana mengendarai mobil sangatlah melelahkan.”

“Aku tahu.”

Haseena menyela. “Lantas, kau tahu Kashmir itu jauh kenapa kita tidak naik kereta saja, ha?”

“Itu tidak mungkin, Haseena. Dengar, apa jadinya jika orang-orang tahu aku pergi dengan perempuan yang sedang melarikan diri karena menolak dijodohkan? Kau akan mendapat masalah besar, terutama dari penggemar beratku. Ini akan lebih aman, orang-orang juga tidak akan tahu aku pergi,” jelas Veer.

“I-iya. Ta-tapi, Veer.”

“Tapi apa?”

Haseena bangkit, lalu melangkah ke kursi samping Veer. Haseena diam, memperhatikan saksama seolah menginterogasi. “Tunggu-tunggu. Jangan bilang, kau sedang ....” Dia menggantung bicara.

“Sedang apa?” Veer merasa terpojok.

Haseena duduk bersandar, memandang ke depan seraya melipat kedua tangan. “Kalau tidak salah,  setahun yang lalu kau kabur, bukan? Bukan kabur juga, em ... lebih tepatnya mengasingkan diri, apa kau sedang merencanakan hal itu lagi? Kudengar, waktu itu kau mengasingkan diri karena patah hati pada Disha yang menolak cintamu. Sekarang, perempuan mana yang membuatmu ingin mengasingkan diri? Setahuku, kau sedang tidak dekat dengan siapa-siapa.”

Ada seberkas senyum tipis mekar di bibir Veer. Sekali pun dia harus menjawab jutaan tanya dari Haseena, itu tidak masalah, asalkan suara perempuan berpasmina merah dengan selendang bertengger di kedua pundak itu tidak padam dari indra pendengarannya.

“Haseena.”

“Ya?”

“Kenapa kau ....” Veer tidak melanjutkan. Pertanyaan yang hendak dia utarakan sontak menerbangkan sebuah kepingan memori. Dia terjebak dalam ruang masa lalu.

“Haseena.”

“Ya?”

“Kenapa?”

“Kenapa bagaimana?”

“Kenapa kau berbeda dengan gadis-gadis di luar sana saat bertemu denganku. Biasanya, mereka akan berusaha mencuri perhatianku. Tapi justru, kau lah yang  pertama mencuri perhatianku.”

Kepala Veer terasa ditusuk-tusuk ribuan pedang dalam satu waktu. Tidak mau ada hal yang bisa membahayakan keduanya, Veer memutuskan untuk menepikan mobil sebentar. Veer mendesis kesakitan sembari memegang kepala. Tentu, itu membuat Haseena panik.

“K-kau kenapa, Veer?”

Veer menguatkan diri, menoleh seraya memberi seberkas senyum. “Tidak pa-pa, aku hanya sedikit sakit kepala.”

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang