Part 1

92 11 2
                                    

Hujan jatuh dengan sesak menghantar kepingan air mata diiringi suara detak jantung yang sekarat. Tidak ada bilik pertolongan yang melingkupi tubuh tak berdaya itu. Tubuh yang terkepung badan mobil yang kini ringsek setelah menghantam pembatas jalan lalu terpental beberapa meter dari jalur utama.

Ketika nyawa berada di ambang pintu kematian, sebuah senyuman layu diterpa rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh. Bibir yang merah ranum dipoles lipstik merah kini memucat. Akibat terhantam badan mobil beberapa kali, kepala perempuan dengan rambut terurai panjang itu mengalami pendarahan dan luka robek di beberapa sisi. Perempuan itu sudah tak lagi menangisi rasa sakit di kepalanya karena beberapa keping kaca mobil menancap di sana. Seolah, rasa sakit itu adalah temannya, teman satu-satunya yang dia miliki jikalau malaikat maut datang menjemput.

"Hania ... kakak pergi. Maaf, tidak sempat pamit." Batin perempuan tersebut bergejolak di tengah kesadarannya mulai menurun.

Tak sampai disitu, tepat di samping perempuan itu, turut terkulai seorang pria dengan luka yang lebih parah. Tidak ada yang bisa memastikan apakah pria itu masih bernyawa atau tidak. Yang pasti, pria itu tak lagi bergerak dengan posisi kepala bersandar di rangka jendela mobil yang kacanya sudah porak-poranda.

Hanya desiran air hujan yang menemani keduanya berjuang sampai akhir. Akhir yang baik. Atau ... sebuah akhir yang mengerikan dan tak pernah terbayangkan sebelumnya.

***

Sembilan hari yang lalu ...

Tidak ada yang memberitahu takdir apa yang akan mendatangi gadis berambut panjang itu. Walaupun, bayang-bayang kematian tengah menunggunya di sebuah ujung waktu, dia tidak menghiraukan apapun selain menikmati liburannya di Goa -salah satu negara bagian dari India yang terkenal dengan destinasi wisata spektakuler dan pantai-pantai yang menawan. Di saat semua wisatawan bersantai di atas kapal fery ditemani hembusan angin pantai, Haseena justru memilih solo trekking untuk mencapai Butterfly Beach yang terletak di ujung Palolem Beach. Sepanjang perjalanan, bola matanya menjadi hijau tatkala disuguhi hamparan hutan yang cukup lebat.

Dia cukup lama menyimpan kerinduan untuk kembali memanjakan mata dan bersuka ria dengan alam. Dari senyuman yang menyatakan kebebasan itulah dirinya terbuai akan ciptaan Tuhan yang tak satu pun memiliki tandingan. Akan tetapi, kebebasan itu tidak berlangsung lama. Senyuman indahnya padam seketika saat dirinya menemukan seseorang yang tergeletak di bawah sebuah pohon.

Haseena berlari mendekati tubuh pria yang tertelungkup menghadap tanah. Dia tidak langsung membangunkan pria yang belum dia ketahui wajahnya. Di samping tubuh pria itu, ada sebuah tas dan sebotol wine yang telah kosong.

"Hei, Tuan. Jangan tidur di sini." Telunjuk Haseena menunjuk sebuah arah. "Di sana ada penginapan, kenapa kau malah tidur di sini? Hei, Tuan, bangunlah!" Dia mulai risau, sebab, pria itu sama sekali tidak menunjukkan pergerakan.

Kemudian, dia membalikkan badan pria itu sampai telentang menghadap sinar matahari. Dengan telaten, Haseena membersihkan tanah yang melekat di wajah pria itu. Saat mengetahui siapa sosok pria yang dia tolong, ekspresi wajahnya berubah kecut.

"Di saat satu dunia sibuk mencarimu, ternyata kau malah tidur di sini? Asal kau tahu saja. Gara-gara kau, semua gadis di negara ini mogok makan, termasuk adikku. Ish! Rasanya aku ingin menamparmu." Telapak tangan Haseena sudah terangkat. Satu centi lagi, telapak tangan Haseena mendarat di pipi pria itu. Namun, sebuah tangan mencekal pergerakannya.

Masih dengan kedua mata tertutup. "Hei ... tidak baik menampar pria malang sepertiku." Bulu matanya yang lentik bergeser ke atas. Sinar matahari yang menyengat membuatnya mengerjap-ngerjap sesaat. Kemudian, pria itu bangun seusai melepas cengkeraman tangannya.

Pria itu duduk, dengan susah payah menyandarkan punggung ke sisi pohon. Dia menoleh malas, lalu mengangkat satu sudut bibirnya.

"Seharusnya, kau membiarkanku mati saja. Hidup ataupun mati rasanya sama saja bagiku," ujarnya sangat putus asa.

"Ternyata pemberitaan tentang seorang penyanyi India terkenal yang bunuh diri itu benar adanya, tapi ... kenapa kau masih ada di sini?"

"Belum. Aku belum melakukannya."

"Kau takut?"

"Untuk apa aku takut? Aku hanya ... ingin menikmati sejenak keindahan dunia ini untuk yang terakhir kali," balas Veer dengan suara serak nan parau. "Aku ingin mati ... sungguh." Sambungnya.

Haseena yang semula duduk berjongkok ikut bersandar, memandang jauh langit di atas sana yang mulai dingin.

"Kau tahu, kematian yang paling menyakitkan adalah saat kau jatuh cinta. Kau akan kehilangan dirimu sendiri untuk mendapatkan orang yang kau cintai. Hei, kau tidak perlu sebodoh ini dalam mencintai satu wanita yang bahkan tidak menganggapmu ada. Ingat, ada jutaan penggemar yang dengan bodohnya mencintaimu, tapi kau tidak pernah bisa menganggap mereka ada di hatimu hanya karena satu wanita itu."

Ungkapan Haseena sukses mencuri perhatian pria berkumis dengan rambut tipis yang memenuhi dagu tersebut.

"Apa kau salah satu di antara mereka?" tanyanya menoleh lemas, sampai-sampai lehernya tertekuk ke pundak.

"Maksudmu?"

"Maksudku, apa kau juga penggemarku?"

Haseena melambai-lambaikan kedua tangan. "Aku tidak sebodoh itu menyukai pria yang sudah menyukai wanita lain."

Veer meringis, dia tidak menduga jawaban menohok itu akan keluar dari mulut perempuan di sampingnya. Lalu, keduanya sama-sama diam, hanya bola mata Veer yang sembunyi-sembunyi mencuri pandang ke wajah Haseena yang berseri-seri tersorot sinar matahari. Veer menunduk singkat sembari mengulum sebuah senyum penuh arti.

"Apa kau ingin menemaniku mati di sini? Kau bisa melanjutkan perjalananmu ketimbang menyaksikan malaikat maut datang menjemputku. Pergilah," tukas Veer berusaha ramah, sekali pun, dia sedang marah pada satu dunia, tapi, bertemu perempuan itu entah kenapa mampu memadamkan sejenak amarahnya.

Haseena menoleh, memberi tatapan sarkas. "Di ujung sana ada surga yang sangat indah bernama Butterfly Beach, kenapa kau ingin sekali diseret malaikat maut ke neraka, ha?" Dia berdiri sembari membersihkan dedaunan yang melekat di paha. "Memangnya, jika kau seperti ini, orang yang kau cintai akan peduli denganmu? Asal kau tahu saja, sekali pun kau mati, wanita itu tidak akan membalas cintamu. Apa yang kau dapatkan dari cinta semacam ini?"

Haseena mengambil botol minuman keras yang habis diteguk oleh Veer. Tanpa ragu-ragu, dia membanting botol itu ke batang pohon sampai menjadi dua bagian. Dia menyerahkan mulut botol yang sudah terpisah dari badannya. Bisa dilihat, pecahan botol minuman keras itu cukup tajam hanya untuk melukai seseorang.

"Ini, pakailah otakmu. Kau tidak akan mati hanya dengan menegak sebotol minuman keras. Kau bisa gunakan pecahan botol ini untuk menyayat lehermu, atau ... kau bisa menusuk dadamu, itu akan langsung membuatmu bersantai di neraka." Haseena terus menyodorkan pecahan botol ke Veer yang mundur perlahan.

Bahkan, kalimat sarkas Haseena sekali pun tak memancing amarah Veer.

"Kau gila?" Veer terkekeh setelahnya.

"Kau yang gila! Kau bilang, kau ingin cepat mati 'kan?" Dia meletakkan pecahan botol itu di samping Veer. "Kabari aku jika kau sudah bertemu malaikat maut. Aku tidak punya waktu menyaksikanmu dijemput malaikat maut, tapi mungkin, aku akan datang ke pemakamanmu bersama adikku setelah menyelesaikan liburanku di sini. Good to see you!" Sebelum pergi, dia menepuk-nepuk pundak Veer.

Haseena berbalik arah, melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Sementara itu, Veer masih tak berkutik, dia terheran-heran dengan apa yang perempuan itu perbuat. Lalu, pandangannya jatuh ke pecahan botol yang berserakan di tanah. Dia mengambil sebuah serpihan kaca yang membentuk segitiga runcing. Dia terdiam beberapa detik, memecahkan kegaduhan di dalam sanubarinya yang tak terkendali.

"Di ujung sana ada surga yang sangat indah bernama Butterfly Beach, kenapa kau ingin sekali diseret malaikat maut ke neraka, ha?"

"Memangnya, jika kau seperti ini, orang yang kau cintai akan peduli denganmu? Asal kau tahu, sekali pun kau mati, wanita itu tidak akan membalas cintamu. Apa yang kau dapatkan dari cinta semacam ini?"

***

Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang