Prolog

87 6 3
                                    

Selamat Membaca Dear💜

Rintihan dan suara yang bergetar terdengar di penjuru kamar. Rumah yang katanya menjadi tempat ternyaman menjadi kehampaan terbesar. Hubungan yang memang sudah lama tidak dapat dikatakan baik ini menjadi pemicu perang dingin sampai hilang kehangatan keluarga dari sisi manapun.

"Kamu pikir dengan kerja keras kamu selama ini bisa melupakan perbuatan kamu. Sakit mas, luka lama aja masih membekas tetapi sekarang kamu mulai lagi." Isak tangis Ani

"Seharusnya kamu itu bahagia, selama ini aku tidak pernah mengeluhkan kekurangan kamu. Kenapa kamu selalu membesarkan masalah?" Tanya Ariem dengan emosi yang mulai meningkat

"Oh jadi sekarang kamu mau membicarakan kekurangan, sebutin aja mas lebih baik seperti itu. Aku bisa memperbaiki diri. Dari segi apa kamu merasa aku yang paling kurang?" Tanya Ani

Perdebatan dan saling melempar emosipun tidak dapat dihindari. Memanas tanpa henti. Hingga terdengar tamparan yang suaranya sangat jelas, menggema di kamar itu.

"Aku tidak kaget mas kamu seperti ini, kamu pikir cuma kamu yang lelah. Aku juga lelah mas, di rumah dari pagi hingga mataku akan terlelap semua aku mengerjakannya sendiri. Kamu benar-benar egois. Andai saja aku menggugurkan anak itu, aku tidak akan menderita seperti ini mas." Jelas panjang Ani menepis air matanya

"Jangan selalu sebut anak itu, cukup kamu beri derita padanya. Sudahlah aku lelah."

"AKU MAU KITA PISAH!" Teriak Ani tegas

Lantas Ariem yang telah melangkahkan kakinyapun terhenti. Menyeringai sejenak dan berbalik arah.

"Kenapa kamu ingin sekarang, seharusnya sejak dulu kamu lakukan itu Ani. Aku sudah muak dengan pernikahan ini, semua." Ujar Ariem menatap Ani pasti

Ani yang mendengar Ariem mengatakan hal tersebut langsung pergi tanpa sepatah kata. Hatinya, mentalnya, dan tubuhnya telah hancur. Rasanya mati rasa, air mata sudah tidak dapat lagi mengeluarkan arti lara atas apa yang terjadi pada keluarganya.

Ditempat lain, disisi tangga paling bawah tergeletak anak kecil yang bersimbah darah. Matanya tertutup rapat dan tangan kecilnya berat untuk digerakkan. Badannya lemas, kesadarannyapun hilang.

"DJUAVI..." Teriak Ani dan menuruni anak tangga dengan tergesa

Anipun memeluk tubuh kecil itu.

"MAS...CEPAT TURUN AVI MAS!" Ani berteriak sekuat tenaga

Ariempun menghampiri sumber suara. Pemandangan yang sangat tidak mengenakkan, Ariem bergegas menggendong Djuavi untuk dibawa ke rumah sakit.

Sekilas sebelum pergi, Ani melihat arah tangga atas dengan mata tajam. Amarahnya memuncak, akan tetapi Djuavi lebih penting akhirnya dia pergi bersama Ariem.

Tinggalkan jejak dengan memberi vote dan comment ya:)
Salam hangat, cacctuisie^^

Enough WTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang