Andai bisa memilih menjadi burung, dia bisa merasakan kebebasan di atas sana. Kemana saja dapat disinggahi. Tetapi dia tidak lupa ancaman dan bahaya akan selalu ada. Apakah ada yang lebih mudah dari kehidupan ini?
Suasana ini, pernah dirasakan Trifea beberapa tahun lalu. Tetapi dia tidak memilih untuk menangis dan lemah. Sekuat yang dapat dilakukan, dia akan berusaha bertahan."Mau kemana Fe?." Tanya Rama meremehkan.
Tanpa aba-aba Rama menarik paksa Trifea masuk ke dalam rumahnya. Yang paling membuat Trifea sedikit takut, Rama sengaja mengunci pintu rumahnya.
"LEPASIN!!!." Teriak Trifea.
"Bukain pintunya Ram, apa mau kamu pake kunci pintu segala?" Lanjut Trifea.
Rama tersenyum sembari duduk menyilangkan kakinya. Meletakkan kunci di atas meja.
"Santai Fea, duduk dulu aja." Ujar Rama melihat Trifea dengan tatapan misterius.
Meskipun ragu, banyak tanya dalam hati Trifea manusia seperti apa Rama ini. Sebenarnya apa yang hendak dilakukannya. Trifea duduk di sofa tepat di hadapan Rama.
"Pasti kamu bingung dan penuh tanya, kenapa aku lakuin inikan."
"Gak usah basa-basi Ram." Balas Trifea.
Perlahan Rama mendekat, memegang tangan Trifea erat dan sangat erat. Memperhatikannya dari bawah sampai ujung kepala. Sedangkan Trifea merasa gusar, akan tetapi tetap memberanikan diri menatap Rama.
"Ternyata sekarang kamu lebih cantik Fe." Ucap Rama menatap Trifea lekat.
"Lepaskan tangan kamu Ram, aku kesini cuma mau tahu bagaimana bisa Naya ditemukan seperti itu?!"
"Hahaha....di situasi saat ini kamu masih memperdulikan yang sudah mati. Seharusnya kamu perdulikan diri sendiri Fe. Sadar gak, kamu itu seharusnya senang bisa terhindar dari perempuan pembawa sial itu." Ketus Rama
"Memang sebaik apa kamu Ram, bukannya kamu juga iblis!." Kesal Trifea
Ramapun semakin mencengkram kedua tangan Trifea erat hingga memerah. Pandangannya menakutkan. Sesekali Trifea menahan rintihannya.
"Kamu tahu apa yang membuat perempuan itu mati, kamu jangan kaget Fe. Dengarkan baik-baik, dari kelahirannya tidak ada yang mengingkannya. Bahkan Ibu kami meninggal karena melahirkannya, perempuan itu tidak dilahirkan secara normal. Tidak ada yang menerimanya."
Ramapun menarik paksa Trifea ke salah satu ruangan yang terkunci. Benar, itu kamar Naya.
"Kenapa kamar Naya berantakan? Apakah ini darah Naya?" Tanya Trifea.
Dari penglihatan Trifea, kamar Naya sangatlah berantakan banyak coretan tulisan, gambar, rambut yang berserakan, dan bercak darah di robekan kain serta beberapa gambar.
"Menurut kamu bagaimana?" Tanya Rama duduk di kasur itu.
"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Trifea sambil melihat salah satu gambaran yang menurutnya menyakitkan.
Gambaran itu seperti gambar rumah, akan tetapi ada satu perempuan yang ditebak Trifea itu adalah Naya berada di lingkaran empat orang yang menariknya. Tali tersebut ada yang diikat di tangan kanan, kiri, leher, dan kepala.
"Menyiksanya!" Ketus Rama.
Dengan kesadaran penuh Rama menarik Trifea berada dekat dengannya. Tergeletak di sebelah Rama yang sedang menyeringai puas. Sontak Trifea membulatkan matanya. Lalu dia berdiri kembali.
Tangan Rama sempat menahannya, Trifea segera bertindak menggigit tangannya sampai tertatih kesakitan. Dia segera berlari dan mengambil kunci di atas meja.
Tidak ada lagi yang Trifea pikirkan selain berlari kencang. Nafasnya memburu, hilang kendali. Air mata, sepertinya sudah lama dia tidak mengeluarkannya. Hanya saja rasa takut saat ini yang dia rasakan sangatlah besar.
Buggh!
Trifea tanpa sadar menabrak sesuatu. Agra, lelaki idaman Tata. Dengan kondisi Trifea yang tidak seperti biasa, Agra sedikit bingung. Seperti menemui orang lain, bukan Trifea.
"Maaf Fe, aku gak sengaja" Ujar Agra.
"Gak papa kok, hm...aku duluan ya." Trifea tergesa
"Beneran Trifeakan? Tapi kenapa dari rautnya beda gitu. Gak mungkin habis olahragakan." Ucap Agra dalam hati.
*****
Sesampai di rumah, Trifea istirahat terlebih dahulu. Setelah itu, dia mandi dan kembali beristirahat. Notifikasi masuk dari handphonya.
"Fe, baik-baik ajakan?" Tanya Tata.
"Iya Ta, kenapa?"
"Agra hubungin aku nih, katanya kamu tadi kelihatan aneh, kamu gak marahkan sama ayang aku, beneran gak sengaja nabrak kamu Fe." Jelas Tata
Trifea hanya membacanya saja. Kembali notifikasi masuk. Tetapi, Trifea tidak sempat membalas karena ada handphonenya berdering ada panggilan masuk.
Panggilan berakhir dari Ayah Trifea. Ternyata dia diundang datang ke rumah untuk makan malam bersama. Tidak mengerti kenapa secara tiba-tiba. Tanpa ada perasaan apapun, Trifea menolak untuk hadir.
Kembali notifikasi diterima.
"PEAAKKK, BENERAN MARAH?" Tanya Tata penuh penegasan.
"Enggak Tak, udah aku mau tidur dulu." Balas Trifea.
*****
Hari sudah gelap, sempatnya bel rumah Trifea berbunyi. Trifea yang sedang bersantai pun keluar.
PLAKK!
PLAKK!
Dua tamparan mendarat ke pipi Trifea secara bergantian. Dia hanya dapat tertunduk merasakan panasnya bekas tamparan yang di terima dari Ayahnya.
"Kamu benar-benar anak yang tidak tahu berterima kasih. Beraninya menolak permintaan Ayah!." Ujar Ariem dengan penuh amarah.
Ariem menjambak rambut Trifea ke dalam rumah. Menghajar Trifea dengan memukul tanpa henti. Sudut bibir Trifea hingga berdarah, badan dan tangannya penuh memar.
"Kamu sudah membuat malu! Kamu tahu siapa yang datang hah?!."
"Ibumu, suaminya bekerjasama dengan Ayah. Kenapa kamu tidak datang, melihat mukanya meremehkan Ayah membuat ayah sangat murka. Karena ketidakhadiranmu, membuat dia merasa hebat! Ayah membiayai kamu bukan untuk bersenang saja, harus ada pengembalian. Seharusnya kamu melihat orang yang akan membuangmu dari kecil!" Lanjut Ariem yang masih menjambak rambut Trifea erat.
"Aku tidak pernah meminta Ayah dan apa hubungannya wanita itu deng..." Ucapan Trifea terpotong
Satu tamparan lolos mendarat kembali di pipi kiri Trifea. Tanpa satu kata pun, Ariem langsung meninggalkan Trifea.
"Aku harus terbiasa, sekarang sudah biasa." Ucap Trifra sembari menahan air matanya.
Selamat Membaca Dear~~💜
Jangan lupa untuk memberikan dukungan berupa vote dan comment ya, semoga sukkaaa;)
Kalau ada kesalahan baik typo maupun saran, boleh banget disampaikan ya
See u next partt~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Enough W
أدب المراهقينYang tidak pernah terluka, tidak akan pernah merasakan susahnya mencari obat untuk meredakannya. Karena satu hal yang membekas tidak mudah untuk dihilangkan. "Seperti itu manusia, tidak pernah puas dan selalu merasa berkekurangan. Sampai lupa bahwa...