Datang

22 3 0
                                    

Selamat Membaca Dear💜




Tidak ada yang pernah tahu bagaimana perasaan orang lain. Apa yang sedang ada dipikirannya. Di kamar yang sangat hening Trifea bergelut dengan pikirannya. Sampai di titik ini, mengapa selalu ada hal yang tidak terduga datang.

Terbiasa terluka membuat Trifea kuat menghadapinya. Meski dia harus bekerja lebih keras untuk bertahan menyehatkan mentalnya yang sering terguncang. Pandangannya kosong mengarah kado yang dia dapat di sekolah kemarin.

"Mengapa tulisan tangan ini sangat asing?" Gumam Trifea memandangi surat yang di genggamnya.

Pasalnya hari ini Trifea memeriksa semua tulisan teman sekelasnya. Tidak ada satupun yang menyerupai bentuk tulisan pada surat itu. Trifea sempat berpikir kembali ataukah selama ini kematian Naya dan Kakak kelas bernama Kaysa bukan meninggal karena bunuh diri. Akan tetapi, ada hal yang terjadi.

Ponsel Trifea tiba-tiba berdering.

"Kenapa Ta?" Tanya Trifea.

"Keluar yuk, bosen di rumah. Mimis gass aja seperti biasa." Ajak Tata.

"Kemana?" Tanya Trifea lagi.

"Mall? Hehehe. Jangan bilang gak dulu deh ya. Maksa ini harus mau titik."

Panggilan pun berakhir. Trifea hanya bisa pasrah dan bersiap-siap. Bingung apakah dia meminta sopir untuk mengantarnya atau menaiki sepedanya.


Disaat Trifea hampir selesai bersiap, handphonenya kembali terdengar ada notifikasi.

"Peaaaa, maaf gak jadi. Prince Agra ternyata ada tanding basket, mau nyemangatin biar menang. Dah, aku mau berangkat dulu ya. Kiss kisss;)"

Setelah membaca notifikasi pesan yang masuk dari Tata, Trifea hanya bisa menghela nafas sangat panjang. Kembali dengan pasrahnya. Melihat dia sudah rapi, Trifea pun berinisiatif untuk keluar mencari udara segar.

Mengendarai sepedanya dengan santai, baru tersadar olehnya. Bagaimana bisa Tata begitu memberikan perhatiannya pada Agra. Padahal Tata dan Agra hanya berteman akrab, bisa di bilang terjebak dalam friendzone. Trifea hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

Di persimpangan jalan, terlihat laki-laki yang sangat dia kenal. Rama, iya itu dia. Trifea berhenti mengayuh sepedanya. Ada yang mengganjal perlu ditanyakan pada Rama, tetapi jika mengingat kejadian yang tidak mengenakkan di rumahnya Trifea sangat trauma.

Tidak, ini tidak benar. Dia tidak tahan untuk tetap diam. Dia pun menghampiri Rama.

"Kamu disini Fe, ngapain?" Rama menoleh ke arah Trifea yang menghampirinya.

Sedikit Trifea mengepalkan tangannya untuk memberanikan diri. Tetapi ada sedikit keanehan. Mata Rama kali ini sedikit lebih teduh dibandingkan biasanya.

"Aku gak tahu mau mulai dari mana. Tapi ada hal serius yang perlu aku ingin tahu." Ujar Trifea.

"Kita duduk saja di taman sebelah sana."

Dengan kekhawatiran, Trifea mengikuti langkah Rama. Duduk di kursi taman yang menyejukkan.

"Fea..." Panggil Rama lirih.

Trifea sontak menoleh ke arahnya dengan muka datar.

"Aku mau minta maaf atas kejadian waktu itu. Sebenarnya setelah kepergian Naya, ada rasa bersalah dalam diri ini." Ujar Rama menatap Trifea tulus.

Tatapan itu pernah Trifea rasakan saat bersamanya.

"Aku sudah lupa Ram, di sini aku mau tanya ada apa Naya di rumah?" Tanya Trifea.

"Benar Fe, aku tidak pernah bercerita mengenai Naya bukan. Naya sudah lama merasakan luka sejak lahir. Tidak ada yang menginginkannya, bahkan semenjak Mama meninggal karena melahirkannya. Akupun menjadi salah satu yang tidak ingin melihatnya."

"Bukankah di rumah itu hanya ada di huni kamu, Papa, dan Naya?" Tanya Trifea penasaran.

"Semenjak nenek meninggal, tepatnya Naya berusia 11 tahun. Sedangkan usia ku 12 tahun, aku dan Papa tidak ingin serumah dengannya. Terpaksa dia diasuh oleh Bibi kami. Sampai akhirnya, dia kembali pulang dan bersekolah yang sama denganmu."

"Lalu?" Tanya Trifea.

"Papa yang tidak menyukainya sering kasar, bodohnya aku tidak pernah juga memperhatikannya. Tidak hanya di sekolah tapi juga di rumah, hidupnya berantakan. Kamarnya tidak pernah rapi. Suatu hari, dia menemuiku dengan keadaan tangan penuh dengan cat warna gelap. Dia hobi melukis, semua yang di rasakannya di curahkan dalam lukisannya. Yang paling ku ingat dia berkata, andai saja Naya bisa memanggilmu Kakak dengan lantang. Aku ingin bersandar di bahumu dan berkata duniaku sedang tidak baik selama ini. Setelah itu dia meninggalkanku."

Rama menjeda sebentar ceritanya. Mencoba mengingat masa itu, kesulitan Naya yang sendirian.

"Aku jarang di rumah, hari itu aku melihat sekeliling rumah sangat sepi. Aku membuka kamar Naya, dia tidak ada di dalam. Ada satu buku harian yang terbuka, ku baca setiap lembarnya. Di sana aku benar tersadar. Naya membutuhkan sandaran dan teman. Ternyata selama di tempat Bibi, Naya mendapat perlakuan buruk dan pelecehan seksual oleh Paman." Cerita panjang Rama.

Dengan raut wajah seperti penuh penyesalan, Trifea yang melihat itu hanya bisa diam dan mendengarkan.

"Fe...Apakah aku termasuk pembunuh Naya?" Tanya Rama parau.

"Ram, aku gak tahu separah inikah Naya memikulnya sendiri. Kamu memang salah, tapi saat ini lebih baik jangan menyalahkan diri kamu. Naya sudah tenang, ikhlaskan dia." Jelas Trifea

"Hanya saja aku tidak sadar dengan cepat Fe. Terlambat menyelamatnnya."

*****

Sekolah memang menjadi tempat mendapatkan pengetahuan dan kenangannya yang sangat melekat karena masanya hanya dapat dirasakan sekali saja. Tidak bisa diulang.

Ruangan kelas menjadi hening, di depan kelas sudah ada Siswa baru yang menjadi pusat perhatian semua penghuninya.

"Gak nyangka ya Fe, bakalan ketemu anak ini lagi." Ujar Tata

"Kalian kenal?" Tanya Mimis.

Bersamaan mereka pun mengangguk.



See U Next Part ya🍃

Jangan Lupa Vote dan Comment
Memberi masukan dan saran pun boleh;)

Salam Hangat,

Cacctisie

Enough WTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang