Perbuatan melukai memang menyakitkan tetapi perkataan yang tajam lebih membahayakan
Kegiatan Trifea di hari Minggu saat ini dimulai dengan membersihkan rumah. Penyembuhan terbaik dari segala lelahnya kegiatan sehari-hari yang dia lakukan. Lengannya masih perih, namun dia bisa menahannya.
Trifea tinggal sendiri di rumah yang tergolong besar ini. Setelah kedua orangtuanya bercerai, tepatnya Trifea di bangku SMP memilih untuk tinggal sendiri ditemani dengan pembantu yang sudah dianggap ibu keduanya. Tetapi saat ini, ibunya tersebut tidak tinggal bersama karena Trifea benar-benar ingin nyaman sendiri dan hanya akan dikunjungi sebulan sekali.
Ketika Trifea sedang memasak, tiba-tiba saja bel berbunyi.
“Iya sebentar!”
Trifeapun keluar. Sebenarnya dia sangat terkejut siapa yang ada di hadapannya.
“Apa kabar Fea?” Tanya wanita berkacamata itu.
“Silahkan masuk terlebih dahulu.” Balas Trifea.
Kedua perempuan tersebutpun masuk mengikuti langkah Trifea. Jadi wanita yang membuat terkejut Trifea itu adalah istri baru Ariem, Stayla. Dan anak kecil yang dibawanya adalah putrinya, Ivara Anariem.
“Kakak tiri kenapa gak pernah main tempat Iva?” Tanya Ivara.
“Kakak sibuk. Ada keperluan apa anda kemari?” Tanya Trifea kepada Stayla.
“Ternyata kamu belum berubah Fea, tapi tidak masalah. Mama mudamu ini hanya ingin mampir dan melihat kondisimu. Jangan salah sangka ini bukan kemauan saya, ayah yang tidak mengiginkanmu itu yang menyuruh saya datang kemari.” Ketus Stayla.
“Saya baik-baik saja, jika tidak ada keperluan lagi dipersilahkan dengan sangat hormat untuk anda segera pergi. Karena saya sibuk hari ini.” Balas Trifea.
“Tenang saja saya juga hanya ingin sebentar, satu lagi ayah mu berkata uang kebutuhan sudah di transfer dan saya harap kamu jangan sering menghubunginya.”
“Saya tidak pernah menghubungi beliau.” Jawab Trifea.
Ditengah perbincangan mereka, Ivara bermain di luar rumah. Diapun membawa sesuatu masuk.
“Mama, ini topi kakak tiri jatuh disana.” Ujarnya
Trifeapun langsung mengambilnya, topi sekolahnya memang dia cuci dan seingatnya sudah dijepit dengan benar.
“Terimakasih.” Ujar Trifea.
“Sama-sama kakak.” Jawab Ivara.
“Yaudah ayo kita pulang, disini panas dan pelayanan terhadap tamu sangat buruk. Mama udah gak tahan.” Ucap Stayla sembari memegang tangan Ivara
Ketika keduanya hendak keluar pintu, Trifea menyeka tangan Stayla.
“Ivara boleh duduk di sofa sebentar?” Tanya Trifea.
Ivarapun mengangguk dan mengikuti perintah Trifea. Ivara sekarang berusia 5 tahun, sehingga masih sangat lugu.
“Ada apa?” Tanya Stayla
“Jangan harap saya mengakui anda dan anak anda, saya juga mohon agar jangan memanggil Ivara dengan sebutan Iva. Mengenai Ayah, saya tidak akan menghubunginya. Cukup, silahkan jika anda ingin pergi.”
Stayla terlihat tidak menghiraukan dan mengajak Ivara keluar dari rumah tersebut. Sedangkan Trifea melanjutkan masakannya. Setelahnya dia makan bersamaan dengan menonton drama yang saat ini sedang berusaha di tontonnya sampai selesai.
Keesokan harinya, Trifea berangkat sekolah masih mengendarai sepedanya. Ruang kelas terdengar sangat amat berisik entah apa yang sedang diperbincangkan. Lagi dan lagi dibuat terkejut dengan yang Trifea lihat. Naya, si anak korban perundungan sedang duduk bersama kedua sahabatnya.
Trifea terdiam sejenak, Tatapun menariknya.
“PEAAAAK gak bisa datangnya lebih pagi apa.” Ujar Tata.
“Udah-udah mending langsung cerita aja Ta.” Ucap Mimis.
“Oke-oke, hm...persiapkan pendengaran ya Fe, sekarang Naya masuk group kita udah dikontrak dua tahun. Dan kabar lain, kamu tahu kan sama Kaysa kakak kelas IX B itu?” Tanya Tata .
Trifea hanya membalas dengan anggukan.
“Nah kemarin malam, dia ditemukan tewas gantung diri di pohon dekat rumahnya.” Cerita dari Tata.
“Bener banget, anehnya lagi Fe ada beberapa lebam di tangan sama tubuhnya.” Tambah Mimis.
“Lagi nih ya, bukannya dia salah satu tersangka perundungan ke kamu ya Nay?” Tanya Tata.
“Iya tapi kemarin waktu mereka siksa aku, Kak Kaysa gak ikut. Biasanya dia yang memberi perintah.” Jawab Naya.
Sekilas Trifea memandangi Naya, ada yang aneh dengannya. Seperti dia tidak ingat kejadian kemarin.
“Oiya Nay meskipun kita gak sekelas kalau istirahat barengan kita aja ya.” Ucap Tata
Di jam istirahat, Trifea ke toilet terlebih dahulu. Dia hendak mencuci mukanya. Akan tetapi, ada suara seperti rintihan yang tertahan. Trifeapun membuka salah satu toilet tersebut, dilihatnya Naya sedang menangis lirih dengan tangan diikat dan mulut dibekap.
Trifea membuka ikatan tersebut dan membantu Naya berdiri.
“Gak papa?” Tanya Trifea.
“Aku baik.” Jawab Naya menunduk.
“Apa yang sedang terjadi?” Tanya Trifea lagi.
Akan tetapi di sini Naya hanya diam. Dengan balasan demikian, Trifeapun mengajak Naya untuk duduk sejenak di taman sekolah.
“Nay, kamu ingat kejadian Sabtu lalu?” Tanya Trifea.
“Apa yang perlu aku ingat?” Tanya Naya balik.
“Di gang kecil.” Jawab singkat Trifea.
“Aku tidak pernah kesana Fe. Aku duluan ya.” Pamit Naya secara tiba-tiba
Trifea merasa ada yang sedang ditutupi oleh Naya.
“Apa ini ada hubungannya dengan kematian Kaysa?” Tanya Trifea dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enough W
Teen FictionYang tidak pernah terluka, tidak akan pernah merasakan susahnya mencari obat untuk meredakannya. Karena satu hal yang membekas tidak mudah untuk dihilangkan. "Seperti itu manusia, tidak pernah puas dan selalu merasa berkekurangan. Sampai lupa bahwa...