Mulai Menerima

19 4 0
                                    

Selamat Membaca Dear💜



"Bukankah mencoba untuk menerima kali ini saja tidak akan membuat aku sengsara. Dia terlihat tidak seperti mereka. Semoga benar-benar berbeda."

---

Jangan menjadi silent reader ya, sakit bagi author huhuhu. Minimal kasih vote dan saran jika ada yang perlu diperbaiki agar dapat menjadi masukan untuk author sendiri.

Oke sekian, yuk lanjut baca kelanjutan ceritanya🤗

————


Di luar rumah yang saat ini terik matahari sudah bersinar sempurna. Cassi dengan badan yang belum sehat maksimal memaksakan untuk olahraga kecil. Memasak juga hanya menggoreng telur dan sayur rebusan. Bukan karena untuk diet tetapi dia terlalu lemas memasak yang berat-berat.

"Kak sudah bangun, istirahat saja dulu biar cepat pulih." Ujar Zeyvan yang datang tiba-tiba dengan membawa semangkuk sup di tangannya.

"Kenapa kamu ke sini pagi-pagi?" Tanya Trifea.

"Oh, ini Kak aku buatkan sup untuk Kakak sarapan." Jawab Zeyvan.

Cassi pun masuk ke dalam yang diikuti oleh Zeyvan di dalamnya. Entah kenapa Trifea menjadi tidak tega untuk mengusir Zeyvan seperti biasanya. Dia mengambil sup buatan Zeyvan dan memakannya. Padahal Trifea sudah makan tadi, untuk menghargai kerja keras Zeyvan dia makan lagi.

Satu suap sup telah masuk ke dalam mulut Trifea,"ternyata masakan Zeyvan enak juga." Batin Triefa.

"Bagaimana Kak, enak?" Tanya Zeyvan dengan tatapan penuh harap bahwa Trifea menyukainya.

"Lumayan, kenapa kamu tidak pulang? Kakak sudah menerima sup buatanmu." Ujar Trifea.

Zeyvan tidak ingin membuat suasana hati Trifea buruk dia sedikit berpikir apakaha jawaban yang tepat,"di rumah itu sangat sepi Kak jadi aku ingin di sini sebentar." Jawab Zeyvan.

"Siang nanti ke sini dan bawa buku untuk persiapan lomba kita."Titah Trifea yang masih memakan sup tersebut.

Mendengar Trifea berkata seperti itu membuat kebahagiaan tersendiri untuk Zeyvan. Timbul pertanyaan dalam benaknya, apakah Kakaknya ini sudah menerima kehadirannya atau kah hanya untuk membangun hubungan rekan lomba yang akan mereka ikuti nanti setelah masuk sekolah.

"Baik Kak, nanti aku ke sini. Aku pulang dulu ya Kak semoga lekas sembuh." Ucap Zeyvan lalu pergi.

Trifea hanya mengangguk saja dan melanjutkan makan sup tersebut sampai habis. Setelahnya Trifea mencuci piring. Hatinya sepertinya tidak sekeras dulu tetapi dia tidak ingin merobohkan dinding pembatas dalam hubungan dengan orang lain. Jangan orang sekitarnya, keluarganya saja tidak pernah tahu apa yang sedang dia rasakan. Seperti biasa dia hanya bisa memendam sendirian.

Trifea melangkahkan kaki ke kamarnya untuk mandi agar badannya lebih segar. Termasuk banyak dia sudah melakukan gerakan-gerakan kecil hari ini. Air mulai mengalir mengguyur badan Trifea, dingin tetapi tidak sedingin dunianya padanya. Hanya orang-orang tertentu yang memahaminya. Kebanyakan orang yang datang dalam kehidupan ini hanya untuk singgah entah hanya ingin berteman saja, ingin tahu tentang kehidupan kita tanpa menemani hal apa pedih apa yang sedang kita alami, dan bahkan yang menyedihkan ada juga yang hanya ingin memanfaatkan apa yang saat ini kita miliki.

Banyak rupa-rupa sifat manusia yang terkadang belum pernah kita jumpai. Ketika menerima kehadirannya ternyata hanya menjadi penyebab luka. Hidup bukan hanya tentang memahami kehidupan orang lain saja tetapi diri sendiri juga perlu perhatian. Dan untuk itu, Trifea lebih memilih untuk menutup dirinya dari orang lain. Tidak ingin diganggu dan jangan mengganggu.

"Ternyata segar sekali setelah mandi, habis ini aku harus mempersiapkan buku olimpiade tahun lalu dan mencari informasi kembali mengenai soal-soal yang sering keluar. Apakah Zeyvan sepintar itu, mari kita lihat nanti seberapa besar kemampuannya?" Ucap Trifea menyusun kembali bukunya di meja belajar dan memisahkannya.

Trifea tidak sengaja membuka buku hariannya di saat usianya lima belas tahun. Isi tulisannya setiap lembarnya membuat dia tersenyum dan bangga. Meskipun waktu cepar berlalu tetapi Trifea telah keras dengan dirinya untuk terus mencoba menguatkan diri. Salah satu catatan yang berada di tengah-tengah lembar buku sangat menyayat hatinya.

Trifea mengingat kembali masa itu.

Teringat jelas dalam ingatannya, Ani Ibundanya yang sangat dia sayang dan selalu dirindukannya setelah tiga tahun berpisah dengan Ariem datang kembali ke rumah tepat Trifea berada di sana. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Trifea sudah lama tidak tinggal dengan Ayahnya , siapa yang kuat menghadapinya jika menerima kehadirannya hanya karena terpaksa agar namanya tetap dikenal baik.

Mata Trifea tidak lepas dari Ani yang masuk dengan tergesa-gesa. Waktu itu sepertinya Ani dalam keadaan tidak baik masih ada sisa-sisa depresi yang dia rasakan saat kehilangan Avi anak keduanya. Ariem juga ada di rumah kala itu, karena memang Trifea pulang ke rumah atas panggilan Ariem.

Plak!

Suara tamparan di pipi kiri Trifea terdengar sangat nyaring. Dia yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menangis. Kenapa Bundanya melakukan itu? Padahal rasa rindunya padanya sudah sangat besar. Dia ingin merasakan pelukan darinya.

"Kamu layak mendapatkannya anak pembawa sial. Semua kehancuran keluarga kita karena kamu, kenapa tidak kamu saja yang mati!"

Ariem yang menyaksikan itu hanya diam saja tetap melanjutkan pekerjaan di kamarnya. Stayla, Ibu tirinya sedang berlibur setelah melahirkan bersama dengan seseorang. Sekarang Trifea juga sudah tahu orang yang sering di ajak berlibur Stayla tidak lain adalah anaknya, Zeyvan. Banyak sekali hal-hal yang dia tidak ketahui tentang keluarganya sendiri.

"Bunda, salah Fea apa? Kenapa Bunda sering memukul Fea?" Tanya Trifea yang terisak.

"Kenapa? Kamu harus tahu kenapa saya sangat membenci anak sepertimu lahir. Siapa yang peduli denganku waktu itu. Kamu hanyalah anak haram yang berada di perutku. Tetapi pria yang kamu sebuat Ayah itu malah menerimamu dan menikahiku agar keluarganya tidak di cap buruk." Ujar Ani yang sangat menggebu.

Trifea yang mendengar itu sudah tidak bisa lagi memberikan pertanyaan lagi, dia terdiam. Sesak di dadanya seperti kehilangan pasokan udara. "Selama ini kamu tidak tahu kan, Ayah mu itu sangat munafik. Jangan kaget dengan kejutan yang dia berikan di masa depan." Tambahnya lagi.

Cukup ingatan itu sangat menyakitkan. Ceritanya sama persis dengan tulisannya di buku itu. Mengapa dia tidak mengeluarkan air matanya kembali, perasaannya sudah sangat kebal. Trifea paham mungkin sulit menjadi Bunda nya. Tetapi jika dia merasakan dan berada di posisi Trifea pasti dia juga akan merasakan bagaimana hatinya sudah tidak lagi memprioritaskan kata keluarga lagi.

Tetapi jika suatu saat nanti dia bertemu dengan Ani dalam keadaan apa pun jika Ani menerimanya maka Trifea akan berjanji akan memaafkan semua luka dan dukanya di masa lalu. Dia seorang anak perempuan wajar jika selalu merindukan sosok sang Ibu. Dalam hatinya paling dalam dia juga merasa bersalah mengapa terlahir dengan keadaan seperti ini, tidak ada keluarga yang menerimanya dengan ikhlas. 

———

See U Next Part ya;)
TATAA~~~~

Salam Hangat,

Cacctuisie

Enough WTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang