Selamat Membaca Dear💜
"Dia aneh, wanita pertama yang aku kenal."———
"Kak, ini buku dan ada beberapa modul yang aku dapatkan dari sekolah ku. Bisa kita jadikan rujukan untuk belajar" Ujar Zeyvan yang membawa setumpuk buku di tangannya.
"Lumayan banyak ya, memang kita akan mempelajarinya semua hari ini?" Tanya Trifea.
"Jangan Kak nanti Kakak kelelahan, lebih baik kita memilih dasar-dasar materi matematika dulu." Jawab Zeyvan.
Trifea mendengarkan saran Zeyvan. Pertama yang mereka lakukan mempelajari materi-materi terlebuh dahulu. Baru setelahnya mengerjakan soal-soal yang telah mereka dapatkan dari lomba sebelumnya untuk di jawab kembali. Menurut mereka matematika itu materi yang paling mudah untuk dipelajari daripada yang lainnya. Zeyvan adalah manusia yang gemar dalam menghitung daripada materi yang lain, tetapi tidak menutup kemungkinan dia juga menyukai membaca buku.
Trifea sendiri menyukai keduanya baik membaca, menghafal, dan menghitung. Terlalu sempurna? Tidak juga karena hidup Trifea selalu menuntut keras kata tersebut. Dia juga sudah waspada akan masa depan yang akan dia hadapi. Tidak selamanya dia akan memenuhi kebutuhan hidup hanya dengan menerima pemberian Ayahnya saja. Dia juga butuh pekerjaan sendiri.
Bisa saja dia saat ini bekerja, tetapi Ariem tidak mengizinkannya. Dia malu jika anaknya ada yang kesulitan dalam hal keuangan, itu akan memperburuk nama baik yang selama ini dia bangun untuk keluarganya. Bukan karena alasan dia menyayangi Trifea. Maka dari itu, Trifea harus sadar diri berada di tingkat mana dia saat ini berada.
"Kak menurut Kakak soal nomor lima ini menggunakan rumus apa?" Tanya Zeyvan.
Ketika mau menjawab pertanyaan Zeyvan, sontak dia sangat mual. Dia berlari menuju kamar mandi. Zeyvan yang menyasikan itu pun tidak mengerti dengan keadaan Kakaknya. Sepertinya memang masih sakit tetapi dia selalu memaksakan diri. Zeyvan lalu menutup semua buku dan menumpuknya kembali. Dia ingin Kakaknya istirahat dulu.
Zeyva membatin dalam hatinya, "Apakah Kak Fea hamil? Tandanya mual sepertii itu bukan?"
"Astaga, kenapa dengan pikiran ku tidak mungkin. Dokter kemarin juga tidak bilang apa-apa." Tambah Zeyvan yang merasa aneh juga dengan pikirannya sendiri.
Trifea keluar dengan raut wajah yang pucat, "Maaf ya, sepertinya Kakak sudah tidak sanggup melanjutkan belajar sekarang ini." Ujar Trifea yang memegangi perutnya.
"Iya Kak, lebih baik Kakak istirahat dulu saja." Jawab Zeyvan.
"Pulang lah terlebih dahulu, Kakak akan menutup pintu." Titah Trifea.
Zeyvan menuruti perkataan Trifea, buku yang tadi dia bawa pun ditinggalkan di rumah Trifea. Ketika hendak menutup pintu, Zeyvan berkata sesuatu yang membuat Trifea tidak menyangka dia akan menanyakan hal bodoh seperti itu. Apakah pemikiran dia sudah di penuhi matematika hingga pelajaran biologi tidak diperhatikannya? Trifea kembali ke kamarnya untuk tidur meskipun sebenarnya waktu sudah sore.
Terlalu lelap hingga tidak memeriksa jam lagi waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Trifea yang melihat jam pada dindingnya langsung bangun. Notifikasi handponenya dipenuhi oleh pesan Zeyvan.
"Anak ini kenapa lagi? Tidak henti-hentinya mengganggu." Ujar Trifea bergumam.
Mendengar bel berbunyi beberapa kali sangat mengganggu di pendengaran Trifea sehingga dia langsung bergegas membuka pintu. Masih dengan orang yang sama, Zeyvan di hadapannya mengenakan pakaian dengan sangat rapi.
"Kak mau tidak keluar, kita jalan-jalan untuk selingan sebelum bertempur dengan angka." Ajak Zeyvan.
"Ada apa anak ini, kenapa sekarang sangat berani denganku? Apa aku terlalu lunak dengannya?" Tanya Trifea yang sedang membatin.
"Aku belum mandi Zey, lihat masih memakai pakaian tadi siang. Jalan saja sendiri." Tolak Trifea yang hendak menutup pintu namun ditahan Zeyvan.
"Aku tunggu Kakak mandi sampai selesai. Oke?" Tanya Zeyvan sekali lagi kepada Kakaknya.
"Maksa banget sih Zey, tunggu di ruang tamu." Jawab Trifea yang akhirnya luluh dengan perkataan Zeyvan.
Terdapat tujuan tersirat dari ajakan Zeyvan malam ini, dia ingin Trifea melepaskan sedikit bebannya dan segala luka yang telah dia rasakan. Zeyvan sudah banyak memahami kepelikan kehidupan Trifea karena Bibi yang sudah dianggap Ibu nya sendiri saat ini bekerja untuk Zeyvan tanpa Trifea tahu. Kemungkinan nanti dia akan tahu sendiri.
Tidak memakan waktu lama, Trifea dengan pakaian dan tanpa memakai riasan apa pun sudah siap untuk berangkat. Trifea adalah wanita yang anti ribet, jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak pernah dia membawa tas seperti wanita lainnya di luaran sana. Dia berpikir tidak harus sama dengan yang lain, dia tetap dapat hidup. Ketika hidupnya tidak sama dengan yang lain pun dia masih bisa menjalaninya dengan baik.
"Katanya jalan?" Tanya Trifea yang melihat Zeyvan mengendarai motornya.
"Jalannya pakai motor dong Kak, mana mungkin jalan kaki nanti Kak Fea sakit lagi." Jawab Zeyvan.
Trifea tidak mau berdebat terlalu lama, bergegas menaiki motornya. Di jalan Zeyvan terus bertanya, ada saja persiapan pertanyaan yang ada di kepalanya. Padahal Trifea sangat menghindari percakapan panjang apalagi dengan pertanyaan yang menjuru pada hal-hal yang bersifat pribadi. Beberapa pertanyaan tidak dia jawab dengan tegas dia menolaknya.
Trifea tidak mengerti betapa Zeyvan ingin dekat dengannya meskipun tanpa hubungan darah secara langsung. Dia ingin memahami Kakaknya lebih dari siapa pun karena menurutnya Trifea adalah wanita yang perlu diperlakukan dengan baik, adil dan dirangkul agar kejadian-kejadian beberapa hari lalu tidak terulang lagi.
"Kamu sudah menulis list pertanyaannya, Kakak tidak suka kamu terus bertanya. Menyebalkan!" Tegas Trifea yang sedikit mengencangkan suaranya.
"Oke Kak maaf, satu pertanyaan lagi dijawab ya. Kak Fea bisa mengendarai motor?" Tanya Zeyvan.
"Tidak Zey, kamu tidak memperhatikan di rumah Kakak hanya ada sepeda. Cukup jangan bertanya lagi atau kita tidak akan pernah lagi bertemu." Ujar Trifea.
"Siap Kak, setelah ini mau tidak Kak kita makan dekat taman yang biasanya buat tanding bola basket antar sekolah?" Tanya Zeyvan.
"Bukannya cuma jalan ya Zey kenapa sekarang mau makan juga." Protes Trifea menanggapi Zeyvan.
Penolakan Trifea sangat jelas, dia tidak ingin mendebatnya jadilah hanya berjalan-jalan saja. Angin malam semakin dapat dirasakan Zeyvan menepikan motornya, Trifea sontak turun dari motor tersebut.
"Apa apa?" Tanya singkat Trifea.
Zeyvan tidak menjawabnnya, dia sibuk membuka jaketnya. Terlepas sudah dari tubuhnya dia langsung memakaikannya pada Trifea yang mematung mendapat perlakuan semacam ini dari adiknya.
"Diam, Kakak kenapa tidak memakai pakaian hangat sudah tahu kalau jalan malam sangat dingin. Kakak mau sakit lagi?" Tanya Zeyvan yang telah selesai dengan kegiatannya.
"Kamu jangan sering kurang ajar ya Zey, Kakak diam selama ini tentang perbuatan kamu bukan karena Kakak telah menerima kamu sepenuhnya. Alasannya hanya karena kamu sudah sangat baik dengan Kakak bukan karena alasan lain atas dasar nama keluarga. Jadi cukup bersikap manis untuk mendapatkan perhatian." Tegas Trifea yang langsung melepaskan jaket dari Zeyvan namun di tahan.
Seharusnya hati Zeyvan terluka mendapat perkataan tersebut akan tetapi tidak juga salah dengan ucapan Kakaknya. Dia sedikit berlebihan tetapi niatnya benar-benar baik.
"Aku minta maaf ya Kak, tapi jangan dilepas jaketnya. Sekarang kita pulang." Jawab Zeyvan yang kembali menaiki motornya.
———
SEKIANSee U Next Part:)
Salam Hangat,
Cacctuisie
KAMU SEDANG MEMBACA
Enough W
Teen FictionYang tidak pernah terluka, tidak akan pernah merasakan susahnya mencari obat untuk meredakannya. Karena satu hal yang membekas tidak mudah untuk dihilangkan. "Seperti itu manusia, tidak pernah puas dan selalu merasa berkekurangan. Sampai lupa bahwa...