#1 - Theo

36 6 0
                                    

--Disclaimer!--

Howl of The Stray Dogs mengandung bahasa kasar/keras yang mungkin kurang berkenan bagi sebagian orang. Mohon kebijaksanaannya dalam membaca kisah ini.

Semua yang dituliskan adalah fiktif belaka yang terpikirkan tiba-tiba waktu author masih ada di masa SMA (lol). Kesamaan nama tempat, waktu, latar, atau kejadian adalah kebetulan belaka yang tidak disengaja.

Itu saja, selamat terjun ke dunia para arcane!

---------------------------------------

Theo hanya siswa biasa, atau setidaknya itulah yang dia inginkan.

Di belakang balai desa bercahaya remang-remang, dia melayangkan pukulan ke dagu pemuda lain yang runcing seperti tikus. Walau tubuhnya kecil, dia punya kekuatan pukulan yang cukup untuk membuat berandalan itu terpental beberapa meter dengan darah yang berceceran dari hidungnya.

"KEPARAT!!!!!!!"

Berandalan lain yang sudah sebagian terluka berusaha untuk menghadangnya dari belakang. Sayang sekali baginya, Theo punya insting yang tajam. Gerakan kakinya tangkas menangkis pisau itu dengan tendangan belakang yang begitu tepat. Dia melompat, mengganti tumpuan kakinya, lalu menendang pemuda itu hingga dia tersungkur.

"HANYA ITU SAJA, HAH???????" Theo memekik, mencoba memanas-manasi. Sebagian besar preman yang menyerangnya sudah tersungkur duluan, terbaring di bawah kaki si anjing hitam yang begitu terkenal di wilayahnya.

"Sialan... itu..."

Seorang penyerang mencoba mengangkat wajahnya yang masih meneteskan darah. Dengan mata bengkak dan memar, dia mengarahkan telunjuk kirinya yang bengkok akibat diinjak keras oleh Theo di awal mereka bertarung. Ujung telunjuk itu memancarkan seberkas cahaya.

"MATI!!!!!!"

"BO-BODOH, JANGAN!!!!!"

Peringatan temannya itu tak didengar. Serangan cahaya melesat cepat, lebih cepat dari peluru. Arahnya jelas, lintasannya jelas, tapi Theo malah menyeringai.

Sebelum serangan cahaya itu melesat, Theo sudah duluan mengayunkan tangan kanannya. Seberkas cahaya tujuh warna merekah bak bunga borage dari bahu, kemudian melesat membentuk pita-pita cahaya yang berputar, melilit lengannya dan meninggalkan cahaya terang pada punggung tangan saja.

Ketika peluru itu menyentuh tangan berselimut cahaya tujuh warna Theo, seketika saja lintasannya berubah, berbelok tajam kembali ke si penyerang layaknya laser yang menerpa cermin. Sebelum si penyerang dapat bereaksi, lengannya sudah kena luka bakar yang memanjang hingga bahu.

"UWAAA!!!!!"

Jeritan memilukan memecah kegelapan malam. Dia menggeliat, meronta-ronta di atas tanah sambil mengangkat tinggi lengan kirinya yang terbakar. Teman-teman berandalannya yang lain hanya bisa melihat, betapa mudahnya mereka dipecundangi oleh anak desa bertubuh kecil dengan rambut hitam seperti langit malam.

Bukan berarti Theo tidak menerima serangan. Wajahnya aman, tapi badannya memar-memar. Dikeroyok oleh enam berandalan tentu bukan aksi yang mudah. Dia bisa menghajar mereka, tapi dia sendiri juga mendapat sedikit pelajaran. Meski begitu, dia bukan orang pendendam. Dengan langkah yang sedikit pincang, dia berjalan mendekati sebotol air minum yang tergeletak sepuluh langkah dari sana. Dia ambil botol itu, lalu mengucurkan airnya ke tangan kiri si berandalan muda pengguna serangan cahaya yang masih meronta-ronta di atas tanah.

"Setidaknya sekarang kau akan ingat."

Dilemparnya botol plastik itu mengenai dahi si penyerang. Dengan napas tersengal-sengal menahan sakit, orang itu melempar pertanyaan.

"Siapa..... siapa kau?"

Theo-yang sejak tadi menatapnya sinis-berdiri tegak. Dia jawab pertanyaan itu dengan singkat.

"Theodore Morgan."

-+-+-+-+-+-

Midnight WolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang