#13 - Ujian Masuk Leonia: Kilau (2)

11 6 0
                                    

"Lihat ini," ujar Mira sambil memperlihatkan sebuah jarum kecil melengkung di telapak tangannya. "Tolong jangan disentuh, ini taring ular."

Theo langsung menarik tangannya kembali setelah mendengar penjelasan Mira. "Taring... apa dari ular-ular yang tadi?"

"Benar!" Mira kembali menutup tangannya, menyembunyikan taring-taring itu di balik jaketnya. "Kemampuanku tidak terlalu menguntungkan jika berhadapan dengan penyerang sepertinya, karena itu aku jaga-jaga."

"Benar juga," Theo menyeringai, "tidak akan ada yang mati di sini, peraturan sudah menyatakan itu, tapi rasa sakit dan kelumpuhan masih akan terasa."

"Tepat sekali~" Mira bertepuk tangan beberapa kali, "sekarang tinggal berpikir bagaimana caranya aku menyuntikkan taring ini padanya."

Theo berjalan maju, meregangkan otot-otot lehernya dengan sombong. "Serahkan padaku, aku bisa menahannya."

"Kau yakin?"

"Untuk beberapa menit."

Mira tersenyum simpul, lalu menepuk punggung Theo lembut. "Baiklah, aku serahkan padamu."

Theo berkata begitu, tapi dia sendiri tak yakin. Gadis petir di depan bukan hanya bisa menyamarkan petir dari tendangannya, tapi juga bergerak secepat kilat untuk jarak yang pendek. Dia yakin hanya untuk jarak yang pendek karena gadis itu tampaknya tak memiliki ketahanan terhadap gesekan udara. Artinya, selama Theo berada dalam jangkauan, menyentuh gadis itu saja akan sulit. Hanya beberapa menit, itulah yang dibutuhkan. Bagi Theo, meski itu terdengar mustahil, dia akan melakukannya. Dia yakin Mira juga punya rencana. Apa pun rencananya, Theo akan membantu sebisa mungkin.

"Kau tampak kelelahan," ujar Theo, berdiri berhadapan sekitar dua puluh meter dari gadis itu.

"...... Kau juga......."

Dia berlumuran darah, napasnya tersengal-sengal, kakinya pincang sebelah, tapi kedua matanya menyemburkan hawa haus darah yang pekat. Dia lelah, tapi lebih seperti binatang buas yang terluka.

Theo menarik celananya, menurunkan pinggang, menyiapkan kuda-kuda. Sementara, wanita itu hanya berdiri tegak di sana. Petir biru masih melapisi kaki kanan. Dia tampak santai, tapi juga sulit ditembus. Seolah dia sama sekali tak menganggap Theo sebagai ancaman.

"HA!!!!!!!"

Theo melompat, berlari menuju wanita itu. Dia memutuskan untuk menyerang duluan, meski tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Petirnya masih berwarna biru saat Theo mendekat. Namun, sorot mata mematikan itu membuat Theo berdegup sesaat. Dengan hanya mengandalkan insting, Theo tiba-tiba melompat tinggi.

Aliran listrik tiba-tiba saja merambat di atas tanah, menyebar hingga dua puluh meter ke belakang. Lompatannya tak besar, tapi masih bisa melumpuhkan. Insting Theo benar. Meski hanya sesaat, tapi jika dia terlambat melompat, dia akan lumpuh di detik pertama.

"Kau punya insting yang bagus."

"Tentu sa-"

Kaki Theo sama sekali belum menginjak tanah ketika sosok gadis itu tiba-tiba saja ada di hadapannya, ketika wajah gadis itu hanya berjarak beberapa sentimeter dari hidungnya. Dia tidak menggunakan serangan petir, dia kepalkan tangan kuat. Memanfaatkan tenaga dan momentum, dia luncurkan tinju ke perut Theo.

"GHAK!!!!!!!!!!!"

Itu adalah pukulan paling keras yang pernah Theo terima. Isi perutnya terasa berputar, terkoyak, mual dan nyeri. Dia terpental jauh, berguling di atas tanah, lalu menghantam pohon besar. Isi perutnya seperti akan keluar. Dia batuk beberapa kali, kesulitan bernapas, tapi tak ada kata rehat untuknya. Ketika dia mendongak, gadis itu sudah menggunakan petir emas, meluncur pada Theo dengan tendangan yang tajam.

Midnight WolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang