#8 - Jemputan

17 5 0
                                    

"Aku pergi dulu, kak!"

Lizzy mengayunkan tangannya sembari berlarian riang bersama temannya menaiki bus kota. Theo yang hanya mengantarnya sampai stasiun balas melambaikan tangan.

"Hati-hati di jalan, dengar dan turuti apa yang ibu Alette katakan!"

"Aku tahu!"

Pintu bus pun menutup. Lizzy yang sudah duduk di kursinya masih melambaikan tangan dari balik jendela. Roda berputar, membawa penumpang melaju ke tujuan mereka. Setelah badan bus tidak terlihat lagi olehnya, Theo menurunkan senyuman.

"Kau yakin dia aman?" Tanya Theo.

"Aku sudah bilang kami menjamin keselamatannya." Jawab pria berkumis yang duduk di bangku tunggu belakang, mencoba menyembunyikan identitasnya dengan koran.

"Semoga kau memegang janjimu itu."

"Aku tidak pernah ingkar janji." Dia menutup koran yang dia baca, dilipat, lalu dibuang ke tong sampah sebelahnya. Kacamata dilepas, kumis palsu dilepas, topi dibuka, dan tampak wajah pemuda berambut merah yang familier. "Dia dalam perlindungan Wild Dogs, jauh lebih aman dari penjagaan biasa."

Theo sudah tahu kalau pemuda itu menyamar, tapi memang mengesankan melihat profesional bekerja.

Itu adalah serangkaian rencana agar Theo bisa pergi ujian tanpa perlu khawatir mengenai Lizzy, diusulkan oleh Theo sendiri, dibantu oleh Louis dan regunya. Theo sudah berkata pada Lizzy kalau dia akan mendaftar ke Leonia, itu menyebabkan sedikit pertengkaran meski akhirnya Lizzy mengerti. Meski begitu, Theo sendiri masih khawatir untuk hanya meninggalkan Lizzy di rumah, karena itu dia meminta bantuan Louis melalui nomor kontak yang pernah diberikan. Louis—dengan caranya yang misterius—menyanggupi. Tiba-tiba saja teman Lizzy menelepon Jumat sore, katanya orang tuanya menang hadiah piknik, dan dia mengajak Lizzy.

Theo langsung tahu kalau itu perbuatan Louis, tapi untuk bisa melakukan sesuatu sampai seniat itu, Theo sendiri sedikit tak mengerti. Walau dia juga memang berterima kasih atas bantuan mereka.

"Wild Dogs itu nama regu rahasiamu?"

"Nanti kau akan tahu sendiri. Nah, itu kendaraan kita."

Jari pemuda itu menunjuk minibus putih yang menyalakan lampu sein di dekat terminal. Dia berdiri, menepuk-nepuk celananya sebelum berjalan ke titik penjemputan.

"Ayo!" Serunya ketika mobil putih itu berhenti.

Louis duduk di depan, sebelah sopir, sementara Theo duduk di belakang. Matanya tak diam melirik seisi mobil, tapi memang tak terlihat ada yang mencurigakan. Itu seperti mobil minibus biasa. Segera Theo masuk dan mengencangkan sabuk pengaman.

"Maaf, menunggu lama, ya?" Tanya sopir yang tampaknya juga masih muda. Entah apa sudah berusia dua puluh atau belum.

"Iya, lama sekali. Tidak bisa ngebut sedikit?" Sahut Louis sambil mengencangkan sabuk pengamannya.

"Tidak bertanya padamu," jawab ketus sopir. Matanya yang hijau lalu melirik kaca spion depan, melihat Theo yang duduk sopan di baris tengah. "Bagaimana, apa tidak menunggu terlalu lama?"

Theo yang agak gugup menjawab dengan sedikit terbata-bata.

"Ah... tidak.... tidak, aku baru mengantar adikku naik bus tadi."

"Bagus, aku selalu merasa bersalah jika membuat orang lain menunggu!" Kata pemuda itu gembira. "Aku Klaus Nala Raferty, kelas dua. Jangan khawatir, aku sudah punya lisensi mengemudi. Oh, orang-orang memanggilku Rafi."

Pemuda itu berbicara dengan suara keras, tapi ramah. Sejenak, rasa gugup Theo menghilang begitu saja.

"Theodore Morgan, salam kenal."

Midnight WolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang