#16 - Ujian Masuk Leonia: Rekonsiliasi (2)

9 5 0
                                    

Semuanya sudah jelas, semua yang terjadi. Mereka tidak mengenal satu sama lain, tidak tahu keadaan satu sama lain, lalu dimanfaatkan oleh orang ketiga yang juga baru mereka temui. Theo ingin membenamkan kepalanya ke bantal, berteriak sekencang mungkin meratapi kebodohannya sendiri, sementara gadis itu ingin pergi jauh, bersembunyi di balik batu, tidak mau melihat siapa pun karena dirinya sungguh bodoh dan ceroboh.

"Kau tahu, aku minta maaf," ujar Theo, memecah kecanggungan, "harusnya aku sadar sejak awal pertarungan kalau aturan soal penggunaan etre sudah berubah."

Gadis itu melirik, lalu kembali melempar muka. "Tidak, kau tidak salah. Aku menyerangmu tiba-tiba, aku minta maaf."

"Tidak-tidak. Aku paham kondisimu, kau sudah diserang sejak awal ujian. Tentu saja kau akan menganggapku yang bersama salah satu penyerang sebagai musuh."

"Bukan berarti kau juga salah. Diserang tiba-tiba pasti akan mengejutkan. Jika aturan anti-kematian tempat ini diubah juga, mungkin kau sudah berada dalam bahaya."

"Oh, tidak perlu seperti itu. Jika aturan itu diubah, mungkin artinya aku sudah membunuhmu sekarang."

Gadis itu menoleh penuh pada Theo. "Ha? Tentu saja tidak. Jika aturan itu diubah, kau sudah duluan sekarat."

Theo juga sama, dia mengubah nada bicaranya. "Tidak, sejak awal jika bukan karena ujian, aku mungkin akan lebih bebas menggunakan etre."

"Kau bahkan tidak bisa mengikuti gerakan petirku."

"Dan kau dengan gerakan petir itu kalah oleh kerikil kecil."

Gadis itu tak bisa menjawabnya. Itu adalah fakta yang telak. Dia bisa membahas soal aturan ujian, kemampuan petir yang hebat, kemampuan bergerak secepat kilat, tapi tak dapat dipungkiri kalau dia juga kalah hanya oleh kerikil. Dia terlalu ceroboh, itulah yang selalu dia ucapkan setelah kalah karena kebodohannya sendiri. Dia tidak tahu harus membalas apa, hingga akhirnya dia hanya memalingkan muka.

".... Landak hitam." Umpatnya dengan suara pelan, tapi Theo malah menyeringai.

"Terima kasih, kau orang pertama yang tidak memanggilku anjing hitam."

"Anjing hitam."

"Dan sekarang kau mengatakannya."

Theo merasa tubuhnya lemas, hanya cukup untuk memutar kepala dan berbicara saja. Dia tak punya tenaga untuk bergerak, untuk sekadar bangkit berdiri, tapi setelah mengobrol dengan gadis itu, dia merasa begitu relaks.

"Fufu......."

Theo mendengar suara pelan. Dia melirik ke samping. Gadis itu berusaha menyembunyikannya dengan memalingkan muka, tapi wajah merah tersipunya terlihat sampai telinga. Dia tengah terkikik, tapi tak mau terdengar oleh orang kalau dia yang pertama tertawa.

Akhirnya, setelah semua yang terjadi, Theo pun tersenyum.

"Aha..... AHAHAHAHAHAH!!"

Mendengar Theo yang tergelak, gadis itu juga tak menahan tawanya lagi.

"Fuh.... hahahahah!"

Mereka tertawa, melepas diri dari segala kesalahpahaman dan ketegangan. Gadis itu tak lagi memalingkan muka, begitu pun Theo yang tidak lagi mencoba membuat jarak. Sepuluh detik, dua puluh detik berlalu. Pipi mereka mulai terasa sakit. Tawa perlahan meredup, tapi senyuman lebar tetap terpampang di wajah mereka berdua.

"Kau tangguh, aku kalah darimu," kata gadis itu setelah mengakhiri tawanya. Dia lalu menoleh pada Theo, menatap matanya langsung tanpa kecanggungan. "Patrizia Maura Venneri, SMP Aveline, Leanzea. Maaf, tanganku masih lemas."

"Tidak apa, aku juga sama," Theo melirik gadis itu sebagai bentuk sopan-santun, "Theodore Morgan, SMP Polaris, Argon. Kau juga kuat, aku pasti kalah jika di pertarungan nyata."

Midnight WolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang