#23 - Ujian Masuk Leonia: Final (4)

11 4 0
                                    

Sejak awal, Theo merasa aneh.

Kenapa Leonia memperbolehkan para peserta untuk bekerja sama?

Ujian biasanya menyeleksi secara individu. Kelulusan di ujian ini, mengingat apa yang dikatakan Louis, memang melakukan penilaian individu. Aturannya juga sederhana: pecahkan teka-tekinya, dapatkan objek yang ditentukan. Ini menilai daya pikir peserta ujian, daya tahan sewaktu bertualang di hutan, juga insting ketika berhadapan dengan situasi sulit. Lalu kenapa bekerja sama dibolehkan? Terlebih, penggunaan etre untuk memecahkan teka-teki yang menjadi kunci dari ujian juga diizinkan. Apakah itu adil?

Apalagi, bagi Theo sendiri, teka-teki itu terlalu sederhana. Bahkan Tris dan Mira bisa menangkap apa yang dimaksud dalam teka-teki itu, hanya saja Tris tidak terlalu fokus dalam memecahkannya. Untuk ujian peserta undangan yang sengaja dipisahkan dengan peserta biasa, apakah memang semudah itu untuk lulus?

Karena itulah Theo cukup yakin, kalau ujian yang mereka lakukan bukan hanya tentang memecahkan teka-teki. Ada sesuatu yang lain, yang lebih berbahaya dari sekadar teka-teki. Sekarang, apa yang dia pikirkan terbukti benar.

Makhluk itu berwujud seperti anak-anak. Wajahnya rata. Tak ada hidung atau telinga. Bentuknya oval dengan dagu lancip. Empat bola mata besar berwarna hitam mengilat di wajah. Tangannya kurus dan panjang. Dia punya ekor dua kali tinggi tubuhnya, punya empat jari di tangan, juga kaki pendek-besar tanpa jari. Simbol harimau kuning tampak di dahinya, bulat dan besar hingga dari jauh pun tampak begitu jelas.

Theo tidak tahu makhluk apa itu. Dia bahkan tak menyangka itu akan muncul ketika dia membuka objek yang dicari. Tapi dia yakin kalau makhluk itulah tes sebenarnya dari ujian masuk Leonia. Itu adalah makhluk yang bertugas mengeliminasi siapa saja yang membuka objek. Karena itulah, dia sendiri langsung terpikir untuk bagaimana menyebut makhluk itu.

"LIHATLAH, SANG EKSEKUTOR!!!"

Jerit Theo bergema ke seluruh desa, menggetarkan mereka yang berdiri di sana. Tris berdiri terpana, Mira terheran-heran. Tidak pernah terbersit di pikiran mereka tentang keberadaan itu. Mungkin bahkan tidak ada seorang pun yang bisa menerka.

Sang eksekutor mengangkat wajahnya. Tubuhnya mungil, seperti anak beruang , tapi bahkan dari jauh saja bisa terasa hawa menekan yang dia pancarkan. Makhluk itu kuat, benar-benar kuat. Tidak ada yang bisa menyangkalnya. Namun, tidak ada waktu lagi bagi mereka untuk ragu. Waktu tinggal dua puluh menit lagi. Tris menyalakan petir di kakinya, tapi langsung dihentikan Theo.

"Tunggu, Tris. Jangan melakukan apa pun dulu."

"Waktu kita sedikit!" Sahut Tris, melotot pada Theo.

"Tunggu!" Theo memalangkan tangannya, menghentikan Tris yang ingin berlari menyerang. Namun, sang eksekutor sudah menyadari itu. Ekor panjangnya perlahan bercahaya hijau, semakin terang cahayanya, semakin Theo merasakan riak aneh di udara. Dia lihat pasir di sekitar kakinya tertiup, dan langsung menyadari kalau ada yang salah.

"TRIS!!!"

Theo berbalik, segera mendorong Tris ke tanah dengan lengannya. Sang eksekutor di depan mengayunkan ekornya cepat. Percikan kelap-kelip menyembur di udara seperti bunga api, kemudian menyebar ke seluruh kota seperti riak di atas permukaan air. Tiga kali gelombang itu melebar Theo masih merunduk, menutup mata, menahan Tris dengan lengannya ketika angin dari ayunan ekor itu masih terasa meniup rambutnya. Tanah kering beterbangan, pohon-pohon berguncang bersuara gemeresik. Setelah enam detik, gelombang itu berhenti. Theo perlahan mengangkat lagi wajahnya.

Harimau besar di samping Mira tergeletak tak bernyawa. Darah bercipratan, membanjiri jalanan termasuk tubuh Mira sendiri yang tengah tiarap. Gadis itu membuka mata setelah menyeka darah yang menutup wajahnya. Matanya melebar begitu dia lihat kartu As yang selama ini dia banggakan sudah terbelah dua dengan kejam. Di atas tanah adalah genangan darah yang dingin. Mira terduduk, menatap kedua tangannya seolah tak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Dia kemudian menoleh perlahan ke belakang, mendapati kalau lumbung dan rumah yang berdiri di belakangnya telah runtuh, terbelah rapi seperti dipotong oleh pisau raksasa. Semuanya terbelah, bahkan pohon-pohon tebal di sekitarnya pun terbelah rapi dan runtuh menghantam tanah.

Midnight WolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang