[18] V i b i n g

113 14 3
                                        

Peribahasa mulutmu harimaumu memang benar adanya. Zenita merasakan dadanya bergemuruh. Hatinya perih, bak ditusuk sebilah belati.

Sadar dirinya menjadi pusat perhatian, ia pamit untuk menjauh dari meja makan.

"Ma... Mami?" Ucapnya terbata-bata.

"Saya bukan mertua kamu lagi! Tidak sudi rasanya telinga ini mendengar suara kamu," sahut Marleen ketus.

"Saya terpaksa meminta orang suruhan saya untuk mendapatkan nomor ponsel kamu. Tanpa basa-basi, saya mau bilang, jauhi Julian! Kamu tahu kan, dia mau menikah dua minggu lagi?"

Dahi Zenita berkerut. Dengan rasa malu, ia meminta izin untuk keluar sebentar dari kediaman Kairo. Setelah menarik napas panjang, ia membalas.

"Maaf Mi, tidak hanya Mami yang tidak sudi terhadap saya. Saya pun tidak sudi bertemu lagi dengan putra Mami. Maka dari itu tolong cari info yang benar dulu, apakah saya yang masih mengejar anak Mami atau sebaliknya? Terima kasih. Assalamualaikum."

Astaghfirullah wa atubu ilaik. Berulang kali Zenita bisikkan kalimat itu. Ia sadar, bahwa perbuatannya tadi kurang beretika. Namun ia tidak sanggup bila telinganya terus mendengar cercaan dan cacian dari sang mantan mertua.

Butuh waktu yang lama untuk ia sembuh dari luka batin. Apapun dilakukan Zenita agar ia tak pernah lagi bertemu dengan Julian, berikut dengan keluarga sang mantan suami. Walau berat hatinya bila ia mengingat Jeno. Bagaimana anak itu saat ini, sedang apa dia, apa dia mendapat cukup perhatian dari ayahnya, mengingat Julian yang dengan teganya memutus akses Jeno untuk bertemu ibu kandungnya.

Zenita kembali ke meja makan dengan mulut tertutup rapat. Kairo membaca raut penuh ketegangan di wajah Zenita. Ia pun berinisiatif menuangkan air ke gelas Zenita yang kosong.

"Minum dulu, biar kamu tenang," ucapnya.

"Ayo makan yang banyak, Nak. Umma marah ya, kalau makannya sedikit. Biar kamu nggak sakit," tukas Faatimah sembari menaruh banyak porsi lauk ke piring Zenita.

Ingin rasanya Zenita menitikkan air mata. Dibalik badai petir yang menghujam hidupnya, Allah masih berikan dia banyak orang-orang yang begitu tulus dan supportif.

🌬️🌬️🌬️

"Zen, udah ya? Aku sedih tiap liat kamu kayak gini. Nggak apa-apa kok kalau kamu kangen dia, itu wajar. But life must go on. You deserve to be happy," ucap Ah Reum memelas.

Zenita mengangguk pelan. Sudah satu jam ia di sini. Matanya terpekur menatap ke arah pusara tanpa henti. Mulutnya terkunci. Tidak ada air mata di wajahnya. Ia hanya diam mematung sampai Ah Reum menegurnya.

Ia kembali menatap ke arah pusara tanpa nama di depannya.

"Setahun lebih Mama nggak nengok makam kamu. Bukan karena Mama nggak rindu, tapi Mama nggak sanggup. Mama harap kita bisa bertemu lagi di surga, Bébé." Zenita berdiri dan meninggalkan makam putranya dengan hati hancur.

"Nah gini dong, semangat. Oh iya, mampir ke kos, ya? Kembarannya Bae Suzy ini udah bikin dessert. Kan pas tuh, tadi di rumah camer makan berat, di kosan aku makan dessert," kata Ah Reum yang tergelak usai melihat tatapan horor Zenita.

🌬️🌬️🌬️

The best way to pay for a lovely moment is to enjoy it.

Peribahasa itu rupanya berlaku di hidup Serenity saat ini. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia akhirnya bisa bertemu dengan putra semata wayangnya, melalui jembatan KPAI.

Estetika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang