“Ini lo jadi nembak Edith apa gak anjir?”
Xavier mengacak rambutnya frustasi, beberapa minggu yang lalu dia sudah percaya diri dan berani untuk confess, tau-taunya dia ngerasa nggak pantas buat Edith yang notabenenya anak tunggal kaya raya. Tiap kali Xavier menjemput Edith, sebenarnya dia sedikit malu. Ada rasa menyesal karena sebelum-sebelumnya dia pernah mengejar Edith dan ambisius untuk mendapatkannya.
Saat ini wajah Xavier benar-benar pucat, nggak mau mikirin aneh-aneh tapi otaknya ada saja yang dipikirkan.
“Bang, gue gak mau nekan lo ya. Tapi semisal lo belum siap, lo siapin diri dan mental lo.” Julian menepuk bahu kakak kelasnya itu. Dia paham bagaimana kalutnya perasaan Xavier sekarang.
“Gue mau mundur, gue gak mampu imbangin dia yang kek tuan putri. Ada rasa nyesal gue pernah kejar-kejar dia supaya bisa dapetin Edith. Tapi makin kesini, malah makin kesana.”
Julian menonyor kepala Xavier, nggak peduli dia durhaka atau kurang ajar pada kakak kelasnya. Pasalnya omongan Xavier berbelit banget.
“Serah lu ya bang, gue bosen dengerin ocehan lo yang gak ada gunanya.” Julian hendak pergi tapi Xavier mencegah.
“Bentar dulu ngapa? Gue pusing mikirin perasaannya dia nih, apa gue HTS aja ya sama dia? Soalnya kalo nembak buat jadi pacar, gue insecure parah anjir. Mana utang-utang gue masih banyak belum lunas lagi.”
Julian menghembuskan napasnya pelan, dan memberi bungkus rokok pada Xavier. Sebat dulu supaya tenang gitu pikiran. Tapi Xavier adalah ketua OSIS teladan, mana mau dia nerima rokok dari Julian? Kalau di luar area sekolah si masih sabi lah.
“Gegayaan lu bang, biasanya sejam udah habis enam batang lo.” Cibir Julian.
“Ini di sekolahan dodol, gue gak mau ada anak cepu. Siapa tahu lo juga cepu.”
“Eh kutil badak! Kalo gue cepu, gue pastinya kena juga anjir. Gak mikir nih orang kalo ngomong.” Julian memasukkan rokoknya ke dalam saku celana dengan kesal. Padahal kan itu cuma bungkus rokok, isinya nggak ada. Udah dihabisin Yin semalam.
“HTS aja deh, Jul. HTS lagi jaya-jayanya.”
Julian kembali mendesah, kali ini panjang sekali. Obrolan itu berujung dengan Xavier yang diam menatap area sekolah dari atap, sementara Julian memilih rebahan dan memejamkan matanya. Sejuk banget siang ini, batinnya.
________________________Hujan turun begitu derasnya ketika bel pulang berbunyi, mengguyur jalanan serta tumbuhan yang sudah haus karena musim kemarau kemarin. Beberapa murid yang dijemput dengan mobil segera berlari. Ada juga yang nekat menerobos menuju halte untuk menunggu angkutan umum. Tak sedikit ada yang menetap di sekolah untuk berteduh.
Xavier yang tidak sengaja berpapasan dengan Edith ingin pura-pura tidak tahu dan pergi bersembunyi. Tapi sialnya Edith lebih dulu menegurnya.
“Kak.” Cewek itu sendirian, berlari menghampiri Xavier yang sudah pasang senyum pasrah. Edith bingung menatap ekspresi kakak kelasnya.
“Mau ke ruang OSIS, ya?”
Xavier menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal, lalu mengangguk mengiyakan.
”Yah, padahal mau ku ajak bareng.” Edith berujar dengan raut wajah sedih. Xavier termenung sejenak, bukannya tidak mau. Tapi dia mulai sekarang ingin menjauh dari Edith. Ia mungkin akan dicap cowok pecundang dan bajingan karena hanya memberi cewek harapan palsu tanpa kepastian.
“Kapan-kapan, ya. Gue lagi ada tugas di ruangan OSIS. Oh ya, Edith di jemput, kan?” Xavier berusaha memberi pengertian.
Edith mengangguk.
“Mending gitu, di luar hujan. Nanti langsung pulang kalo jemputannya udah datang.”
“Nanti aku chat, ya. Kalau gitu aku duluan ya, kak. Kak Xavier semangat ngerjain tugasnya.” Edith pamit, berujar dengan senyuman manisnya yang tak ketinggalan. Lalu setelahnya dia pergi meninggalkan Xavier yang masih diam di tempat. Menyisakan degupan jantung yang berdebar tak karuan.
Gak bisa ini, gak bisa gitu aja. Gila, true damagenya gak main-main. Mati gue anjir, pengin banting Edith ke kasur trus gue acak-acak. Manis banget cok. Sepertinya suara hati Xavier sampai ke telinga temannya yang tidak sengaja lewat disana.
“Vier, lo gila ya?”
“BUSET ANJIR, ASTAGA, LING KONTOL. GUE KAGET BANGSAT!” Entah akhir-akhir ini Xavier jadi sedikit gampang terkejut. Dia mengelus dadanya yang hampir jantungan karena suara Ling yang tiba-tiba.
“WOI BIASA AJA MONYET NGAPA TERIAK-TERIAK DAH?!” Sahut Ling kesal dan ganti meneriaki Xavier.
“EMANG NIH SEKOLAH PUNYA BAPAK LO APA? PAKE TERIAK-TERIAK.” Benedetta yang kebetulan lewat sana juga ikut berteriak. Niatnya nyindir gitu loh. Biar dua teman sekelasnya itu nggak teriak-teriak lagi.
“Ben, cewek gak baik teriak-teriak.” Ling menasehatinya dengan suara lembut. Membuat Xavier meninggikan alisnya heran.
Benedetta berdecak tak suka.
“Ban Ben Ban Ben, gue bukan anak band!” Sergahnya.
“Ya nama lu kan Benedetta.” Ling nggak habis pikir, nama dia kan Benedetta masa nggak mau dipanggil Ben?
“Serah lo aja deh, Karina mana ya?”
“Oh anak kelas sebelah itu ya? Ben, gue udah lo mintain WAnya belum?”
Benedetta menatap sinis Ling yang tiba-tiba menampilkan wajah penuh harap. “Dia udah ada cowok, Ling bokep. Udah lo mundur aja gosah deketin dia.”
“Hahaha cinta bertepuk sebelah tangan.” Xavier yang masih disana, masih sempat-sempatnya nimbrung dan menertawakan Ling.
“Iya iya, gue mau move on.”
“Dih, gegayaan.” Cibir Benedetta.
“Lo ngapain nertawain gue, bangsat? Seneng lo gue sedih?” Tanya Ling pada Xavier.
“Hadeh, mending lo pacaran ama Bened, noh.” Setelah mengatakan sederet kalimat itu, Xavier melipir dan meninggalkan mereka berdua menuju ke ruang OSIS. Menyisakan kebingungan di wajah Ling dan rasa tak terima dari Benedetta.
“Apa lo?!” Sergah Benedetta ketus saat tahu Ling sudah menatapnya. Ditatap sahabat sendiri rasanya benar-benar memalukan menurut Benedetta. Membayangkan bagaimana jadinya jika dia memang betulan menjalin hubungan lebih dari teman? Pikirannya tiba-tiba kacau, dia jadi tidak bisa berpikir sama sekali.
“XAVIER ANJING LO!” Teriak Benedetta padahal Xavier sudah tidak terlihat disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[MLBB Harian] Do You Want A Know A Secret?
FanfictionJulian pening banget kalau udah berurusan sama Yin. Ditambah Xavier dan kawan-kawannya yang sifatnya rusuh banget. Terlepas dari itu semua, kehidupannya jadi lebih berwarna walaupun perilaku teman-temannya itu slengean semua, dan Julian bersyukur b...