Bayang-bayang Julian dan Melisa yang tengah berjalan nampak jelas karena semburat jingga dari langit yang menandakan hari sudah sore. Class meeting dihari pertama nampaknya berjalan dengan lancar. Kelas Julian bahkan sampai masuk babak final. Keduanya begitu kelelahan karena berpartisipasi mengikuti lomba—keduanya yang paling sering bertanding.
Nanti sesampainya di rumah, Melisa berencana untuk segera mandi dan tidur. Namun dia baru ingat bagaimana Julian menghabiskan sisa harinya sepulang sekolah. Gadis itu melirik kearah Julian yang nampak tenang berjalan disampingnya. Ada rasa yang membuncah dalam dirinya sesaat atensinya jelas tertuju pada cowok jangkung itu. Melisa berusaha merekam jelas dikepala bagaimana raut wajah Julian saat ini dan menyimpannya untuk memorinya sendiri.
"Kenapa, Mel? Ada yang salah sama gue?"
Melisa pikir Julian tidak menyadari kegiatannya, ia kelabakan saat berhasil kepergok menatap cowok itu.
"Engh—nggak kok. Gue lihat sebelah lo." Jawab Melisa gelagapan mencari-cari alasan. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain yang penting tidak bertubrukan dengan mata Julian.
Cowok itu terkekeh. Merasa ada yang berbeda dengan Melisa. Dulu sekali Melisa bahkan tidak pernah menunjukkan rasa gugupnya terang-terangan di depan Julian. Bahkan Julian nyaris tidak pernah mendapati gadis itu merasa gugup sama sekali. Menurutnya Melisa adalah gadis pemberani, penantang apapun dan tak kenal takut. Jadi sedikit aneh melihatnya tidak biasanya.
"Mau mampir ke toko kecil, nggak? Berhubung hari ini tim basket kelas kita menang banyak, gue traktir." Sengaja mencari-cari pembicaraan agar suasana tidak canggung, Julian memilih cara itu. Mereka berbelok menuju toko terdekat dari posisi mereka. Suara bel dan pegawai memberi sapaan selamat datang terdengar ditelinga mereka.
"Woah, Julian?"
Julian menengok keasal suara. Ada pria tinggi berdiri dibalik meja kasir. Alis Julian bertaut, berusaha mengingat siapa pria itu?
"Lupa sama gue?" Pria itu menggaruk belakang kepalanya yang tak terasa gatal, merasa malu bukan main kala Julian tak ingat dirinya.
"Parah lo Jul. Lo lupa ama temen lo sendiri?" Melisa berbisik ditelinga Julian, sedikit berjinjit karena tinggi mereka tak sama. Merasa iba pada pria berseragam kasir yang mulai dilupakan oleh Julian.
"Valir bukan sih?" Julian mencoba menebak sekaligus masih mengingat-ingat.
Mas-mas kasir yang dipanggil Valir itu mendengus kesal. Pasalnya, Julian salah menyebut nama kembarannya.
"Gue Vale, bukan Valir. Kembaran gue mungkin masih di sekolah." Vale terkekeh menyadari wajah Julian yang kebingungan.
"Oh Vale. Sori sori gue masih payah apalin kalian berdua." Julian bersalaman pada teman lamanya itu, tepatnya teman SMP. Mereka satu kelas, tapi dia belum pernah bisa membedakan yang mana Vale dan yang mana Valir? Yang mana teman sekelasnya dan yang mana kembarannya?
"Mel, lo cari minumannya dulu ya. Gue tunggu disini." Julian menatap Melisa yang sedari tadi hanya diam menunggu.
"Lo mau apa?"
"Kayak biasanya aja."
Setelah bilang oke, Melisa langsung pergi. Berhubung Julian tidak begitu suka minuman dingin, dia melipir ke arah rak bukannya ke lemari pendingin.
"Lo udah lama disini?" Tanya Julian basa-basi.
"Lumayan, tapi gue paruh waktu disini anjay. Pulang sekolah sampai malam." Jawab Vale dengan tangannya sibuk menata rokok di rak bagian belakang kasir.
"Oh, gue jarang kesini sih. Jadi nggak tau kalau lo ternyata disini."
"Yoi Jul." Vale berbalik dan menatap Julian lagi. "Tadi siapa? Cewek lo?"
"Melisa, teman sekelas gue. Mumpung pulang ada barengannya."
"Ya elah, gue kira lo udah ada cewek." Vale menunjukkan raut wajah yang kecewa.
"Apa-apaan muka lo kek nggak suka gitu?" Tanya Julian heran.
Vale mencebik. Beberapa saat Melisa datang membawa dua buah minuman kaleng. Menyadari kedatangan gadis itu, Vale segera meng-scan barang yang dibeli Melisa, lalu Julian membayarnya setelah Vale menyebutkan total belanjanya.
"Kapan-kapan main yok Jul. Gue ajak Valir juga nanti."
Julian menaruh kembalian disaku celananya.
"Gue kabarin nanti, gue mau pulang dulu. Kasian anak orang ini kalo kemaleman."
Vale menyeringai.
"Yodah, hati-hati lo. Awas lo apa-apain anak orang." Teriak Vale membuat Julian menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Julian mengajak Melisa keluar dari toko dan berjalan pulang. Lagipula langit sudah hampir gelap.
______________
Keesokan harinya, Xavier berinisiatif menjemput pujaan hatinya yang sudah dia incar sejak penerimaan siswa baru di sekolahnya. Bersyukur sekali saat Edith dengan gamblangnya menjawab ya ketika Xavier menawarinya jemputan sekolah. Dan disinilah Xavier, di depan pagar tinggi dengan motor yang dia duduki. Kepalanya menunduk melihat gawainya yang menyala menampilkan room chatnya dengan Edith beberapa waktu lalu. Menunggu gadis itu keluar dan menyapanya dengan senyum manis yang bikin Xavier klepek-klepek, dia jadi nggak sabar.
Lima menit lamanya Xavier menunggu disana, tiba-tiba pagar rumah yang tingginya melebih Xavier itu terbuka dan Edith berjalan ke arahnya dengan senyum khasnya. Tuh kan, Xavier bilang apa? Senyumnya Edith bikin Xavier melayang. Dia jadi salting. Akhirnya bisa disenyumin sama pujaan hatinya. Xavier senang bukan main. Setelah perjuangannya yang selalu ditolak Edith sedari awal bertemu.
"Maaf lama nungguin ya?"
Xavier menggeleng. "Lama nungguin kamu nggak berarti apa-apa dibanding nanti lama hidup sama kamu."
Edith mengubah ekspresinya. Dia masih tidak terbiasa dengan gombalan Xavier, padahal sudah sering mendengarnya dari mulut Xavier sendiri. Entahlah, dia masih merasa jijik saat Xavier ada dalam mode jametnya.
"Udah ah berangkat, jangan gombal mulu, bisa?" Edith sudah duduk dijok belakang motor Xavier, tentunya dengan helm yang dibawanya dari rumah.
"Maaf." Kata Xavier kemudian.
Motor Xavier melaju menuju sekolah.
Tidak berapa lama, keduanya sampai di area sekolah. Siswa lain yang berpapasan dengan mereka hanya bisa menatap dengan penuh tanda tanya diotak mereka. Xavier yang senyum tidak jelas tidak menghiraukan sorakan dari siswa lain karena dia membonceng Edith. Sementara Edith sudah malu setengah mati, nggak nyangka bakal jadi pusat perhatian padahal cuma dibonceng Xavier. Sialnya ada Melisa yang baru datang bersama dengan Julian. Edith juga berpikir bahwa akhir-akhir ini kenapa Melisa jadi begitu lengket dengan Julian, ya? Dia juga harus menuntut penjelasan dari Melisa.
Sampai di tempat parkir, Edith buru-buru turun dan melepas helmnya. Menitipkan pada Xavier supaya disimpan.
"Eh mau kemana? Nggak bareng aja ke gedungnya?" Tahan Xavier saat sadar Edith hendak meninggalkannya sendirian di parkiran.
"Eh—em, mau ke kelas. Nyusulin Melisa."
Xavier tersenyum.
"Bareng aja."
"Tapi—"
"Aku bilang, bareng!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[MLBB Harian] Do You Want A Know A Secret?
FanficJulian pening banget kalau udah berurusan sama Yin. Ditambah Xavier dan kawan-kawannya yang sifatnya rusuh banget. Terlepas dari itu semua, kehidupannya jadi lebih berwarna walaupun perilaku teman-temannya itu slengean semua, dan Julian bersyukur b...