Kelopak mata Xavier terbuka cepat sesaat mendengar suara Julian menyapa telinganya. Cowok jangkung itu beranjak dari duduknya dan menyeret Julian untuk duduk di tempatnya tadi.
"Kenapa?" Julian menatap bingung kala Xavier malah senyum-senyum nggak jelas padanya.
Xavier menggeleng cepat.
"Seneng ternyata lo mau datang kesini." Ungkap Xavier sejujurnya.
Julian menarik napasnya dan membuangnya sepelan mungkin. Atensinya kembali mengarah pada cowok jangkung sejak tadi berdiri dengan senyuman konyol yang menampakkan wajah bodohnya. Julian bahkan nggak ingat kapan terakhir kali Xavier memasang muka serius pasalnya selama ini kawannya itu memang bloon.
"Lo mau cerita apa?" Julian sudah capek melihat muka konyol kakak kelasnya itu.
Xavier menghilangkan senyumnya, wajah cerianya yang selama ini diperlihatkan pada Julian menguar entah kemana? Sosok itu nampak bukan Xavier biasanya. Dia nampak rapuh dan penuh kesedihan. Matanya sayu tanda penat yang mungkin selama ini dia sembunyikan. Julian terdiam. Dia melihat sisi lain Xavier yang tidak pernah dia sangka-sangka.
Xavier menarik kursi mendekat ke arah Julian dan mendudukinya. Dia menunduk, sebelum dirinya bercerita, dia menghela napasnya lelah.
"Gue bingung." Xavier diam agak lama, dan Julian paham untuk tidak mendesaknya. Dia menunggu sampai Xavier kembali bicara. "Harus cari duit kemana lagi? Sedangkan gue cuma tinggal sama kakek gue yang udah tua renta."
Xavier menunduk, disekanya air mata yang sialnya keluar begitu saja. Matanya terpejam dan isaknya keluar. Julian masih diam, dia udah nggak tahu mau kasih respon yang bagaimana? Alih-alih bicara, tangan Julian terulur mengelus punggung kakak kelasnya itu.
"Orang tua gue meninggal, ninggalin hutang-hutangnya yang puluhan juta, Jul. Gue pusing, gue bingung, gue nggak bisa bagi waktu. Gue tahu gue nggak seharusnya ngeluh sama keadaan, tapi gue udah muak dan capek. Kakek sakit-sakitan."
"Gue nggak nyangka, dibalik sifat lo yang slengean dan bikin orang-orang ilfil. Ternyata lo serapuh ini, bang." Itu kalimat pertama Julian setelah mendengar keluhan Xavier. Dia tak tega, dia merasa heran aja.
Xavier tersenyum kecut. Dia nggak mau semua masalah yang selama ini dia pendam itu terungkap dengan menunjukkan dirinya pada dunia bahwa dirinya benar-benar rapuh dan butuh bantuan. Baginya dunia nggak seadil itu. Dunia nggak segampang itu buat dirinya terang-terangan menunjukkan kesedihannya. Dunia penuh tipu. Makanya dia juga menipu dunia.
"Nggak nyangka aja, ya? Gue aja heran, kenapa bisa belagak sok keren begitu." Xavier terkekeh.
Julian tersenyum lembut.
"Gue yakin lo pasti bisa. Apapun kedepannya, lo pasti bisa selesaiin ini semua. Gue tau lo orangnya tahan banting bang, mental lo aja anti baja."
"Makasih ya Jul, udah mau dengarin gue. Kayaknya gue bunuh diri kalau nggak ada teman cerita. Soalnya selama ini gue sendirian." Sahut Xavier.
"Santai, lo bisa cerita apa aja ke gue."
Hening.
Keduanya terdiam. Sampai Xavier menanyakan sesuatu hal yang membuat Julian nggak mampu buat jawab.
"Arlott itu sodara tiri lu, ya?"
"Tau dari mana?"
"Beberapa waktu lalu ada kunjungan OSIS tiap sekolah. Gue ketemu dia."
Julian diam.
"Dia songong banget, anjir. Masa mukanya nih ya seolah dia ngomong gini oh-jadi-ini-orang-orang-yang-masuk-sekolah-rendahan? Udah gitu dia tiba-tiba nyamperin gue dan bilang untung-Julian-anaknya-pinter-jadi-nutupin-kekurangan-sekolah-lo."
Kalau bicara soal Arlott—abang tirinya itu—Julian sebenernya muak. Dan malas sekali. Tapi dia berusaha kelihatan seperti saudara yang baik-baik. Dan berusaha menjaga nama baiknya abangnya itu. Tapi mau dikata? Orangnya sendiri yang nunjukin sikap aslinya.
"Sebenernya gue malas bahas dia. Gue sendiri nggak terlalu dekat."
Xavier manggut-manggut.
"Paham sih, soalnya saudara tiri. Tapi ya biarin aja lah, toh, ngapain ladenin orang-orang kurang kerjaan yang cari masalah?"
Betul. Batin Julian. Ya setidaknya Xavier orang yang berkepala dingin saat ada yang berusaha menyulut emosinya.
________
"Jul, lo mau mampir rumah gua nggak?" Yin bertanya setelah selesai latihan basket saat pulang sekolah.
Julian nampak berpikir. Sedetik kemudian dia menyetujui tawaran Yin.
Setelah beres-beres, mereka berdua segera keluar dari area sekolah dan mencari angkutan umum di halte dekat sekolah. Tidak menunggu lama, keduanya sudah duduk di dalam bus yang isinya cukup jejal mengingat ini jam pulang kerja.
Tiga puluh menit, mereka sampai di kediaman Yin. Merasa asing dengan lingkungannya, Julian mengernyit heran. Dia juga baru tahu kalau Yin tinggal di lingkungan seperti ini.
Yin berbalik dan tersenyum lebar, kakinya melangkah mundur sedangkan tatapannya tertuju pada Julian yang masih memerhatikan sekitarnya.
"Yin."
"Ya?" Cowok berambut kuning itu masih menampilkan wajah sumringahnya.
Julian menghentikan langkahnya saat sadar kalau Yin menatapnya sedari tadi.
Yin juga berhenti, seolah tahu yang dipikirkan Julian.
"Gue tinggal di Panti Asuhan. Sori ya, pasti bikin lo nggak nyaman." Yin menunduk. Dia jadi menyesal mengajak Julian yang terlihat tidak begitu menikmatinya.
Julian tersenyum, dan Yin baru kali ini melihat cowok itu tersenyum.
"Nggak papa." Katanya dan berlalu meninggalkan Yin yang masih diam di tempat.
Senyum secerah mentari terbit diwajah Yin, cowok itu berbalik dan berusaha mengejar Julian yang sudah masuk ke halaman Panti. Baru pertama kali ini Yin mengajak teman sekolahnya mampir ke kediamannya, dan respon Julian benar-benar membuatnya senang.
________
Sedikit aku kasih konflik yang lumayan, biar nggak monoton gitu ceritanya.
Aku sebenernya pusing sama alur ceritanya, tapi disini tokoh utamanya Julian, jadi ya gitu penginnya lebih bahas Julian. Dan disini kita perkenalan dulu ya sama Xavier dan Yin yang bakal jadi bestinya Julian.Oh ya, kenapa aku kasih Arlott yang jadi sodara tirinya Julian? Soalnya keingat muka Arlott yang garang dan antagonis-able gitu haha. Apalagi beberapa waktu kemarin sebel sama musuh yang kebetulan jago main Arlott.
Oke, aku lanjut yaaa ....
KAMU SEDANG MEMBACA
[MLBB Harian] Do You Want A Know A Secret?
Fiksi PenggemarJulian pening banget kalau udah berurusan sama Yin. Ditambah Xavier dan kawan-kawannya yang sifatnya rusuh banget. Terlepas dari itu semua, kehidupannya jadi lebih berwarna walaupun perilaku teman-temannya itu slengean semua, dan Julian bersyukur b...