Chat room
Edith
Kak,Xavier
Kenapa, Dith?Edith
Em, nanti ada waktu luang gak?Xavier
Pulang sekolah?Edith
IyaXavier
Nanti gak bisa, Dith.Edith
YahhXavier
Edith mau apa, hm?Edith
RahasiaXavier
Ya udahEdith
Kak, serius ih.
Ada yang mau Edith omongin.Xavier
Di chat gak bisa ya?Edith
Gak bisa.
Aku takut salah paham.Xavier
Emang tentang apa?Edith
Ih nanti aja pas ketemu berdua.Xavier
Kenapa berdua?Edith
Ada hal seriusXavier
Kenapa serius?Edith
Ya serius pokoknyaXavier
Kenapa kok serius pokoknyaEdith
Ih ngeselinXavier
Kenapa ngeselin?Edith
Pen aku samperin, tapi malu dilihat kakak kelas nanti.Xavier
Samperin siniEdith
Ke kelas?Xavier
Aku di atap.Edith
Otw, tungguin.Edith betulan menemui Xavier di atap sekolah, cewek bersurai blonde itu tersenyum ketika menyadari punggung Xavier yang lebar. Dia semakin sayang pada cowok ini, semenjak kejadian beberapa minggu yang lalu dan membuat Xavier sempat tak sadarkan diri. Dia jadi ingin merawat cowok itu ketika sedang sakit. Memberi semangat ketika terpuruk, walaupun Edith sadar kalau dia tidak turut andil menjenguk Xavier saat tak sadarkan diri. Dia sendiri menjalani beberapa terapi karena trauma kecil.
“Kak.”
Xavier berbalik, dia tidak sadar kalau ada Edith di belakangnya. Xavier tersenyum, kerutan didahinya yang semula dalam kini hilang sepenuhnya. Berganti tatapan teduh dan penuh kasih sayang. Xavier takjub pada Edith, tiap hari rasanya dia semakin terperangkap ke dalam pesona gadis blonde-nya. Berapa kalipun Xavier menjauh, tidak ingin peduli pada Edith, semakin tersiksa pula dirinya.
“Kenapa?” Edith menelengkan kepala ke kiri karena menyadari Xavier yang bengong.
Xavier menunduk dan tersenyum, lalu menggeleng.
“Rasanya senang aja, gitu.”
Edith menatap Xavier bingung.
“Dith, kalau ada sesuatu yang lebih baik, kakak berharap banget kamu milih yang baik itu.”
Edith benar-benar dibuat bingung dengan ucapan dan tingkah Xavier, selama ini cowok jangkung itu tak pernah mengatakan ‘kakak’ sebagai kata ganti ‘aku’ yang berarti ada hal yang jelas-jelas Xavier sembunyikan. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Edith. Dia berjalan mendekat, meraih tangan kanan Xavier yang tergantung bebas. “Kakak kenapa ngomong gitu?”
Xavier menghela napasnya pelan, berusaha menjelaskan sedikit demi sedikit maksud ucapannya supaya Edith tidak salah paham. Namun sebelum itu, Edith lebih dulu menyela. “Kalau seandainya suatu hal yang lebih baik itu adalah kak Xavier, kenapa aku harus cari yang lebih baik lagi dari kakak?”
Edith bukan gadis bodoh, sekalipun dirinya menunggu ungkapan cinta dari Xavier. Tapi dia paham maksud Xavier apa.
“Kak Xavier ada masalah?”
Untuk saat ini, biarkan Xavier mendapatkan apa yang dia mau. Dia hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Maka dari itu, meluluhkan hati Edith adalah hal yang sulit. Dan ketika dia sudah mampu menggapainya, beberapa pemikiran spekulatif benar-benar memenuhi otaknya. Xavier pusing, dia merasa dikejar tanggung jawab yang besar dan ketakutan akan hal yang belum pasti terjadi. Xavier overthinking.
Digenggamnya telapak tangan Edith yang semula menggenggam lengannya. Setidaknya dia lebih tenang untuk saat ini.
Xavier merasa aneh ketika dia tak kunjung keluar dari lorong yang panjang ini sementara larinya begitu lambat. Namun tak lama, cahaya putih terlihat walau nampak kecil. Dia sudah sampai ujung, senyumnya tercetak jelas. Tempo larinya bertambah cepat, seirama dengan degup jantung. Akhirnya dia berhasil keluar. Tapi yang Xavier lihat adalah sesuatu yang putih bersih tak ada celah. Lorong yang sebelumnya memerangkap dirinya pun hilang tanpa jejak. Dalam ruangan putih yang kosong ini, Xavier berputar dengan kebingungan yang tak masuk akal. Anehnya, dia sama sekali tak merasa napasnya tersengal walaupun setelah berlari kencang dalam waktu lama tadi. Tak ada siapapun disana. Dia benar-benar sendirian. Pikirnya kalut, gelisah dan ketakutan. Dia seperti berada dalam distorsi ruang dan waktu. Xavier berjongkok sambil menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Xavier frustasi, lalu menangis dan berteriak dengan kencang namun suaranya tak terdengar sama sekali.
Ada apa ini?
Apa yang terjadi?
Aku dimana?
Sentuhan lembut Xavier rasakan dibagian punggungnya, dia sudah ada dalam dekapan seseorang saat dirinya belum sempat mendongak. Kedua tangan yang semula melindungi kepalanya perlahan luruh. Xavier berhenti menangis, rasanya begitu tenang dalam pelukan seseorang. Sebuah pelukan yang sangat dia rindukan. Tapi dia tidak tahu siapa kali ini yang memeluknya?
Gadis itu tersenyum manis begitu setelah melepaskan Xavier dalam rengkuhan yang begitu hangat. Seperti bertemu dengan bidadari, Xavier sangat bahagia.
Edith.
Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut gadis itu. Tapi senyum cantik dan manisnya tidak luntur sekalipun.
Edith berdiri dengan tangan yang masih digenggam Xavier, walaupun begitu Edith tetap berdiri dan perlahan melangkah mundur. Wajah Xavier mengatakan ‘jangan’ namun Edith seolah tak melihat itu. Ia tetap melangkah pergi dengan senyum secerah mentari. Namun tidak bagi Xavier, cowok itu berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Memperlihatkan kelemahannya yang tidak pernah dia keluarkan.
Sakit.
Sangat sakit.
Hatinya teramat sakit.
Dadanya ikutan sesak, sampai tak ada ruang kosong untuk menampung udara dalam paru-parunya.
Tidak!
Edith tidak boleh pergi darinya. Dia akan sendirian. Dia akan hancur.
Rasa sakit itu merambat ke tulang-tulang, terasa remuk redam. Jangankan mengejar Edith yang semakin menjauh, Xavier tak mampu menopang tubuhnya hingga dia luruh tak berdaya disana.
Sendirian.
Edith pergi meninggalkannya.
Sesaat kedua matanya menutup.
Xavier tidak sadarkan diri.
Jiwa Xavier serasa ditarik kembali, dia membuka matanya bersamaan dengan napasnya yang tersengal. Keringat muncul diwajahnya. Tubuhnya serasa lemas. Diusapnya wajahnya dengan kasar. Mimpi yang tak masuk akal tapi berhasil membuat Xavier sesak setengah mati. Edithnya akan pergi kah? Xavier sudah mengantisipasi tentang ini, tapi dia tak pernah tahu jika rasanya sesakit ini. Keadaannya sama sekali tak mendukung barang untuk mencegah Edith sekalipun. Dimalam yang sunyi itu, dengan udara yang sedingin musim salju. Xavier menangis seraya memeluk dirinya sendiri. Dia benar-benar kesepian.
__________________________
Emosi gua naik nulis ini, ikutan sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
[MLBB Harian] Do You Want A Know A Secret?
Fiksi PenggemarJulian pening banget kalau udah berurusan sama Yin. Ditambah Xavier dan kawan-kawannya yang sifatnya rusuh banget. Terlepas dari itu semua, kehidupannya jadi lebih berwarna walaupun perilaku teman-temannya itu slengean semua, dan Julian bersyukur b...