Chapter 17 : Sorai

71 10 9
                                    

Berharap kepada manusia, adalah seni paling mudah untuk menyakiti diri sendiri.

•REGAN KANAGARA•

...


Regan tidak menyukai hujan.

Ada banyak alasan kenapa Regan tidak menyukai hujan, udaranya yang dingin, suaranya yang berisik dan mungkin hujan punya histrory tersendiri bagi laki-laki itu, hujan adalah bagian dari kehilangan-seolah ada luka lama yang menolak untuk sembuh.

Di luar hujan turun dengan deras, mengguyur kota Jakarta seolah mengiringi irama kegelisahan Regan malam ini.

"Gimana keadaan Kia, dok?"

Malam ini begitu hening, tapi tidak dengan pemikiran Regan yang keterlaluan ramai, lebih dari dua jam laki-laki itu berdiri-menunggu hasil dari dokter tentang Kia. Regan khawatir akan kehilangan, meskipun anak di kandungan Kia adalah kesalahan tapi laki-laki itu tetap menjaganya.

"Ki, aku minta kamu bertahan ya, demi anak ini." seolah apa yang diucapkannya adalah sebuah ketulusan. Dalam hati, mati-matian Regan berdoa agar semuanya baik-baik saja, Kia harus membaik.

"Ada masalah sama kandungannya." Dokter paruh baya itu berbicara dengan nada tenang. "Kandungan Kia melemah mungkin dia mengandung di usia yang sangat muda, jadi ada kemungkinan akan terjadi keguguran."

Regan menelan ludah.

"Kia tidak boleh banyak pikiran, karena hal ini sangat mengganggu kondisi kehamilan dan juga-" Dokter menahan ucapannya, ada keraguan untuk sekedar mengungkapkan. "Kia sering menyakiti diri sendiri, dilihat dari banyak bekas darah kering ditangannya."

Dari mata coklat milik Regan banyak sekali ketakutan disana, entah kenapa diam-diam Regan merasa separuh dari diri nya ikut remuk.

"Boleh saya bicara sama Kia dok?" Tanya laki-laki itu, setelah mendapat persetujuan dari dokter Regan berdiri dari tempat duduknya hanya untuk menghampiri Kia yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Kia masih tak sadarkan diri, dalam jarak sedekat ini, Regan menatap wajah Kia yang terlihat damai seolah tidak ada satupun beban dalam hidup gadis itu, meskipun dalam kenyataan pahitnya banyak luka yang harus Kia telan sendirian.

"Bertahan ya, Kia, gue tahu lo itu perempuan paling kuat." Dia berucap dengan nada bergetar, tangan besarnya menggenggam tangan lemah Kia dengan hati-hati, lalu dalam beberapa detik tangan Regan beralih menyentuh perut gadis itu dengan senyum mengembang.

"Kamu bukan kesalahan, maaf udah jadi manusia berengsek, mungkin kamu bakal malu punya ayah kayak gini."

Pertahanan Regan runtuh, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan yang melelahkan sang pangeran akhirnya menangis, menumpahkan air mata paling menyakitkan yang ia tahan sedari lama, menangisi semua bentuk luka yang ia ciptakan sendiri, mungkin ia merasa bukan ayah yang baik bagi anak dalam kandungan Kia.

"Maaf, maaf, maaf."

Kalimat afirmasi bodoh itu berulang kali dia ucapkan, maaf bukan panacea yang bisa menyembuhkan segala luka, maaf adalah garis afirmasi kalau-kalau kerusakan tidak bisa di perbaiki lagi.

Dan kerusakan yang satu ini, keterlaluan fatal, mungkin mustahil untuk bisa diperbaiki apalagi disembuhkan.

Kia membuka mata, yang pertama kali gadis itu lihat adalah sosok laki-laki yang membuat kerusakan dalam hidupnya, Kia menatap Regan yang menangis sambil mencium telapak tangan gadis itu berulang kali.

"Re, gue dimana?" Suara serak gadis itu membuat Regan melepaskan gengaman tangannya, Kia beringsut untuk duduk.

Regan menghela napas lega, separuh dari diri nya kembali saat melihat Kia sudah sadarkan diri. "Lo dirumah sakit, tadi pingsan di jalan."

Regan KanagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang