15- Jatuh Hati Di Luar Prediksi

3.5K 492 1.8K
                                    

"Aku bisa saja berhenti menyukai dan mengharapkanmu. Tapi selayaknya matahari tenggelam, pasti esok timbul kembali."

Ada sebuah ruangan khusus yang cukup asing untuk Cakra yang jarang datang ke kantor polisi. Saat ia pikir kedatangannya cukup untuk menjemput Luna dan pulang, perkiraannya melesat jauh hingga ke ujung dunia. Di ruangan yang baru saja Cakra masuki, ada 3 polisi berbadan kekar, satu orang dengan pakaian serba hitam namun duduk paling mencolok, menghadap gadis yang wajahnya tertunduk takut, entah menyembunyikan apa.

"Selamat siang, Pak. Saya walinya." Cakra menyodorkan tangannya untuk jabatan damai, berharap setelah ini ia bisa segera pergi dengan Luna bersamanya.

"Dengan saudara—

"Cakra Septian Adeliano." Pungkas Cakra sambil menahan jabatan tangannya dengan laki-laki berkemeja hitam legam. Jabatan tangan yang perlahan menjadi cengkraman cukup menyakitkan, terlepas saat Cakra berusaha menariknya dengan tak nyaman.

Cakra terdiam sambil mengingat-ingat. Jika semua ini bisa diselesaikan dengan uang, sepertinya tabungannya cukup untuk membawa Luna pergi tanpa interogasi berlebihan.

"Saudari Luna ditangkap atas tuduhan bersekongkol dengan beberapa buron bandar narkoba dan kami menemukan 100 gram sabu di tas gitar yang saudari Luna bawa."

Sekarang Cakra sudah duduk di kursi kosong tepat di sebelah Luna. Gadis itu masih menunduk takut, jauh berbeda dengan Luna yang berisik dan selalu punya kata untuk menjawab apapun. Entah mengapa, kini ia bisu tanpa suara. Seolah mengingatkan Cakra untuk tak perlu membelanya sebab semua tuduhan itu benar, tak terelakan.

"Pak, Luna mesen gojek lewat aplikasi aja masih bingung, yakali nyelundupin sabu di tas gitar."

"Bukti sudah kami amankan. Tinggal beberapa interogasi dengan tersangka."

Cakra melirik Luna beberapa saat, lalu mendekatkan jarak tubuhnya dengan meja di hadapan. "Anaknya udah cerita kalau dia nggak tau apa-apa, kan?" Cakra pastikan Luna sudah melontarkan segala pembelaan. Cakra kenal sekali dengan Luna, dia pasti tidak suka disalahkan.

"Silahkan saudara Cakra untuk menyimak laporan yang kami terima terlebih dahulu ya."

Cakra melirik Luna skeptis. Bingung, aneh, curiga. Semua pikiran yang singgah di kepalanya begitu tak beraturan, ia ingin bertanya dengan lantang pada Luna tentang alasan mengapa ia sampai ada di tempat ini.

"Saudara Luna—

"Itu bukan punya saya, Pak. Tapi kalau bawa— iya saya yang bawa. Itu punya—

"Luna!" Cakra menangkup bahu Luna dan menghadapkan tubuh ringkih itu ke hadapannya. "Bilang kalau lo nggak tau apa-apa. Ada yang iseng sama lo, kan? Ini bukan lo sengaja, kan?"

Kepala Luna semakin menunduk sedalam mungkin, seluruh tubuhnya bergetar karena takut. Membayangkan ia akan mendekam di penjara untuk beberapa waktu benar-benar sudah terlintas jelas di kepalanya.

"Itu punya Kavindra. Dia nitip untuk dikasihkan ke—" Luna menahan napas, ia gigit bibirnya hingga ujungnya berdarah. Sial, ia takut sekali hanya untuk bicara. Suaranya sudah bergetar bagai kehujanan seminggu. "Pak, tadi bapak bilang kalau jadi post bakal di penjara lima bul—

"Luna! Lo serius?!" Cakra menggoyangkan tubuh Luna agar wajahnya terangkat sempurna. Beberapa detik Cakra mencoba, sampai akhirnya Luna pasrah saat tangan Cakra menahan dagunya dan terkejut. Ada dua luka gores di kening dan pelipis, lebam keunguan di dagu dan hidung yang di sumpal kapas, sisa darah masih terlihat meski pendarahan sudah berhenti. "Ini apalagi! Siapa yang mukul lo?!"

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang