21- Fenomena Kesepian

4.2K 531 1.2K
                                    

"Aku selalu menemukanmu dalam hening yang tak terbaca di mana ujungnya."

Sore kali ini indah dan hangat, semburat jingga dengan perpaduan awan-awan yang memudar berdatangan, kontras bersatu padu menjadi virama yang syahdu. Di tengah fenomena itu, terselip banyak rindu yang tak terkata, tak terbaca, tak terhentikan.

Mungkin benar, senja itu indah namun juga jahat. Ia datang di waktu-waktu kita menyadari betapa sepi dan kosongnya sebuah rumah sepeninggal salah satu penghuninya. Ia menyapa bagaikan perayaan besar, namun kesedihan dalam hati malah menyeruak seperti banjir bandang.

Bukan salah senja membawa duka, hatinya saja yang tak kunjung sembuh dari terluka. Sebab kenyataannya, ada beberapa luka yang memang tak bisa sembuh sampai waktu yang disebut selamanya. Sepanjang itu hari berat yang harus dilewati, semenyakitkan itu pada akhirnya.

"Mama masuk dulu ya," ucap seorang perempuan sambil membawa seplastik belanjaan. Meninggalkan sang buah hati di teras, membiarkan anak laki-laki itu mengusaikan kegiatannya melepas sepatu.

Hari ini, Kara dan Miko baru saja menghabiskan waktu bermain di mall bersama Zidan. Mumpung weekend dan Zidan juga punya waktu untuk keluar, meski setelah mengantar keduanya pulang, laki-laki itu langsung pergi ke kantor untuk menyelesaikan tugas dadakan.

Teras yang tak begitu luas terasa sepi dan tenang, hanya ada Miko yang baru saja meletakkan sepatu ke dalam rak kayu yang tersedia, menatanya di bagian paling atas sambil sesekali merapikan sepatu-sepatu lain yang melenceng dari barisan.

Sampai akhirnya gerakan tangannya terhenti di sebuah sendal jepit usang, berwarna biru tua yang kusam, milik mendiang sang ayah, berdebu karena ditinggal terlalu lama oleh pemiliknya.

Tangan mungilnya mengeluarkan sendal jepit dari rak kayu, ia bergeser untuk menghadap benda usang itu dan menatapnya begitu lama.

"Ayah! Sendalku putus!"

"Ayah, sendalku basah!"

"Ayah, sendalku hilang!"

"Ayah-

"Jangan dihilangin lagi ya, yang ini kembaran sama Ayah, kalau punya Miko hilang, Ayah suruh make sendal ayah aja."

"Enggak mau! Sendal ayah gede kaya pelampung!"

Percakapan yang tak begitu Miko ingat karena dimakan waktu kini berputar begitu jelas kala ia menatap sendal itu lagi. Meski sudah usang dan penuh debu, sandal ini masih bagus, alasnya masih tebal dan kuat, berbeda jauh dari milik Miko yang kini sudah kian tipis, namun Miko masih sering menggunakannya untuk sehari-hari meski kini terlihat sudah kekecilan di kakinya. Sebenarnya, Kara sudah dua kali membelikan sandal jepit untuk Miko pakai, tapi entah mengapa sandal jepit pemberian sang Ayahlah yang masih menjadi favoritnya.

Dengan tangannya yang mungil, Miko mengusap sandal itu dan membersihkan seadanya. Hatinya terluka namun tak terkata, ia ingin bicara sesuatu tapi lidahnya kelu, ia ingin bertanya namun entah pada siapa.

Senja yang sempat berarak riuh kini menyisakan mega merah yang lebih gelap sebab bertarung dengan petang. Miko menengadahkan kepalanya menghadap langit, ia tatap hamparan tak terhingga itu begitu lama.

"Aku kangen Ayah." Ia berucap lirih, bahkan dirinya sendiri pun tak bisa mendengarnya.

Ia takut seseorang di dalam rumah mendengar ratapannya, ia benci melihat perempuan yang begitu ia sayangi menangis karena melihatnya begitu terluka. Miko tak pernah ingin menangis saat bersama siapapun, bahkan jika ia seorang diri. Dalam hatinya, ia hanya merasa bahwa seseorang akan marah saat Miko menangisi kerinduannya, ia takut seseorang ikut menangis mengetahui keadaannya, meskipun ia juga tak tahu apakah seseorang yang ia takutkan itu bisa melihatnya atau tidak, sedangkan katanya raga itu sudah hilang dan sebagian yang lain sedang beristirahat entah di mana.

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang