3- Garis Tipis Cinta Dan Benci

4.5K 541 89
                                    

"Setiap runtuh yang kau temui, dia selalu ada."

"Lo kalo dendam nanti dulu balesnya, Kra. Ini sakit banget." Luna mengigit bibir bawahnya saat cairan alkohol mengalir di pelipis. Di susul selembar kapas yang menyapu perlahan, Cakra menggerakkan tangan dengan hati-hati, tapi Luna menganggapnya balas dendam. "Aw!"

"Sok bilang nggak sakit, pas udah sepi nangis."

"Kalau gue nangis ditempat ntar dikira gue cewek lemah, masa dilempar mainan aja nangis. Ish, pelan-pel-"

"Udah pelan, lo-nya aja yang parnoan."

Luna mengerucutkan bibirnya. Tidak lagi bisa mengelak, betul yang dikatakan Cakra.

Keduanya duduk di salah satu kursi santai, lampu juga sudah dinyalakan oleh Cakra, temaram dan sunyi. Tempat ini memang jarang dikunjungi saat malam hari, sebab lebih nikmat bercengkrama di teras, melihat pengunjung berdatangan dan menikmati menu-menu di restoran.

"Lagian udah gue bilangin jangan sok asik sama orang asing, coba mulai sekarang belajar apa-apa sendiri, biar phobia lo ilang."

"Takut."

"Makanya dicoba, belum dicoba udah bilang takut."

Lelehan betadine membuat Luna meringis sekali lagi, tangan Cakra langsung membungkus luka tersebut menggunakan kain kasa dan plester, mengusapnya sampai rekat, tk lupa menatap mata Luna yang basah.

"Emang nggak capek ketiban sial mulu cuma karena rasa takut lo itu?"

Cakra saksinya, entah berapa banyak. Saking takutnya Luna akan kesendirian, ia rela menghadapi apa saja. Dari problematika hubungan antar kekasih, antar teman, bahkan antar orang asing. Bagaimana jika suatu hari terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lalu Cakra tidak ada untuk menolongnya? Atau sederhananya, Tuhan tidak akan terus memberi kebetulan untuk menyelamatkan Luna, bagaimana?

"Maaf."

"Gue nggak mau denger kata maaf."

Bibir Luna semakin memberenggut, "Terus apa?"

"Yang lain, yang lebih meyakinkan gue kalau lo nggak bakal kaya gini lagi. Lo pikir gue nggak takut apa kalau lo kenapa-napa?"

"Emang nggak takut, kan? Lo aja pernah nyumpahin gue jadi kudanil."

"Jangan bilang lo anggap sumpah serapah gue itu serius, Luna?"

"Gue anggap serius."

Mendengar jawaban Luna, Cakra meraup wajahnya frustasi. Luna itu entah memang bego atau pura-pura bego, Cakra juga bingung. Padahal perempuan ini termasuk anak berprestasi saat masa sekolah dasar dahulu, kenapa semakin tua semakin blo'on?

Hening saat Luna sibuk menatap halaman dan papan tenis meja yang kosong, juga Cakra yang sibuk merapikan peralatan medis. Hanya ada bunyi hewan malam yang samar, juga gemericik air dari keran yang longgar.

Saling pandang ke arah lain, barulah Luna melengos saat kursi yang diduduki Cakra berderit. Luna langsung menyadari kalau jarak mereka kian tipis, wajah Cakra pun kian dekat, ditambah tatapan tajam bak bilah pedang yang baru diasah. Entah bagaimana, Luna hanya mampu menelan saliva.

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang