"Jika tak menjadi apapun tak apa. Asal aku selalu bisa bersandar padamu kapanpun aku mau."
Panas terik menampar wajah Luna saat gadis itu baru saja keluar kelas. Setelah duduk sekitar 45 menit mendengar curhatan dosen tentang riwayat pendidikannya di kampus ternama di Jogja, sebenarnya Luna juga tidak peduli dengan ipk dan pengalaman-pengalaman yang katanya menarik itu, Luna membayar ukt setiap semester untuk mendapatkan Ilmu dan gelar, bukan malah cerita hidup sang dosen yang sama sekali tidak membantu mencerahkan masa depannya.
Halaman kampus yang dilalui beberapa Mahasiswa cukup teduh daripada halte, Luna memilih untuk duduk di sana, menunggu panas sedikit menghangat, lalu akan pulang naik taxi saja alih-alih mencari ojek. Ah, susah memang kuliah tanpa memiliki kendaraan, atau Luna mencari pacar saja ya? Untuk ia manfaatkan sebagai tukang ojek.
"Mikir apa sih lu, anjir! Tobat luna...." Luna geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan pikirannya sendiri.
Luna itu baru semester 5 sekarang, tapi sudah dikenal hampir seantero kampus sebagai Mahasiswa yang suka gonta ganti pacar. Yah, Luna sih tidak masalah dicap sebagai apa oleh orang-orang itu, mereka pun tak akan membuat hidup Luna sengsara hanya karena mengatakan kalau Luna seorang playgirl. Lagipula, sayang kalau punya wajah cantik tak dimanfaatkan.
Sekarang Luna tidak melakukan apa-apa, hanya bengong. Duduk di sebuah kursi taman tanpa teman, diam sambil menatap orang-orang berlalu lalang, bercengkrama riang, tertawa, merangkul bahu, menikmati waktu istirahat dengan sang kekasih, belajar, mengejar dosen pembimbing. Semua kegiatan yang ada di depan matanya seolah membuat hati Luna melega, lega karena ia ada di sini dengan pikiran yang mulai menenang, duduk di bawah pohon yang bergerak pelan karena diterpa angin, mengugurkan beberapa daun rapuh, juga bunga-bunga yang tak Luna ketahui namanya.
"Sssshhhhh, perih."
Luna memejam sesaat, merasakan sesuatu yang tak biasa di dalam rongga mulutnya. Setelah ia mengangkat ponsel dan mematikan layar, ia bisa melihat pantulan luka yang memutih di dalam sana. Luna betulan sariawan karena ulah Cakra. Omong-omong, ini sudah dua hari setelah kejadian itu tapi Luna tidak bisa melupakan semua yang terjadi. Entah tatapan Cakra atau rasa dimana bibirnya menyatu dengan milik laki-laki itu, saling mengulum tanpa ampun, tak diberi jeda bernapas bahkan- dengan kurang ajar meninggalkan gigitan. Waktu itu Cakra tak meminta maaf, malah menatap Luna dengan kehausan. Cakra itu memang manusia kontradiktif, yang diucap dengan hatinya kerap tak searah, dan Luna paham akan hal itu. Menjadi seorang teman sejak masih kecil bukankah hal yang wajar untuk mengetahui satu sama lain?
Itu juga alasan Luna memberanikan diri untuk mengakui perasaannya. Sebab sejauh ini Cakra selalu menjadi orang nomor satu yang ada untuk dirinya, meski keluhan dan sumpah serapah tak akan pernah ketinggalan. Ya- Luna pikir Cakra menginginkannya, hanya gengsinya saja yang setinggi langit. Mungkin karena dia yang meminta putus, aneh jika dia juga yang minta balikan.
Tapi apakah cinta yang Cakra miliki sebesar cinta milik Luna? Entahlah. Laki-laki itu tak pernah memberi tahu, dan Luna pun tak peduli sekarang. Yang terpenting dia hanya ingin Cakra mengetahui perasaan sebagai pertimbangan, Luna sudah lelah melewati malam sambil menangisi Cakra karena takut diambil orang.
Beberapa detik setelah Luna menurunkan ponselnya, benda pipih itu berdering. Nama dengan emoji bola basket muncul di layar, membuat Luna terkejut beberapa detik sebelum mengangkat panggilan itu, detak jantungnya tiba-tiba saja melaju.
"Hal-
"Dimana?"
Kebiasaan, tidak pernah mau mendengarkan lawan bicaranya dulu.
"Kampus, kenapa?"
"Kalo kelas lo udah kelar temuin gue di depan gerbang, mobil item."
Luna menatap gerbang yang jaraknya sekitar 10 meter dari tempat ia duduk. Tanpa basa basi perempuan itu bangkit dan melangkah menuju gerbang. Persetan gengsi, Luna sudah meninggalkannya di restoran Rumah Haikara dan memilih untuk terus mengejar Cakra sekuat tenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Menembus Cakrawala [END]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEEMPAT 'Semesta dan rumahnya' Cakra Septian Adeliano telah terlalu lama menyimpan cintanya yang usang untuk mengendap begitu dalam di dasar hatinya, sibuk menyelami perih yang tak seharusnya. Sedangkan Luna adalah yang terus...