Sangat banyak yang terjadi, sangat melelahkan, sangat mengesankan, sangat penuh di hatiku.
-Menembus Cakrawala 2023
Derai tangis langit yang begitu menyedihkan baru saja usai. Saat Cakra melangkah keluar, langit senja nan cerah melambai dari kejauhan, menunjukkan eksistensinya setelah dijajah mendung yang kelabu, juga tangisan yang panjang. Genangan air terlihat di mana-mana, air-air di jalur irigasi naik, jalanan masih licin dan basah kuyup, apalagi pohon-pohon yang sempat menggigil karena bertarung dengan badai angin dan rintik air yang jatuh tak kenal ampun.
Suasana masih dingin meski tak semenggigil saat Cakra masih berada di dalam rumah, dengan selimut peninggalan kakeknya yang paling ia sayang.
"Mau kemana?" Langkahnya berhenti saat seseorang bersuara. Merasa ditanyai, Cakra pun menoleh.
Seorang laki-laki yang lebih kurus darinya berdiri di ambang pintu, diam dengan kaca mata menyampir di hidung, rambutnya berantakan sama dengan kaos oblong berwarna biru tua, celana boxer pendek dengan corak samar dan tidak pernah ketinggalan secangkir kopi di tangan, baru saja ia ambil dari dapur.
Cakra tebak, itu adalah cangkir kopi kesekian yang sudah laki-laki itu angkut hari ini.
"Nggak mau jawab, Gege?"
"Balik."
"Rumah kamu di sini." Pernyataan yang sukses membuat Cakra terbahak-bahak. Sayangnya ia hanya mampu bersorak di dalam hati, sebab enggan menunjukkannya kepada lawan bicara. Gege adalah sebutan untuk saudara laki-laki dalam hierarki masyarakat Tionghoa, tidak berbeda jauh dari sebutan Koko. Dalam budaya Chinese, Gege digunakan sebagai bahasa yang lebih formal dan sopan.
Karena budaya lokal semakin kental dalam masyarakat Chinese yang berimigrasi di Indonesia, kebanyakan sebutan-sebutan seperti itu hanya digunakan dalam kalangan Chinese saja, di luar itu mereka tetap mengikuti budaya lokal, Mas, Abang, Aa', atau sejenis panggilan-panggilan yang lebih mudah dicerna masyarakat. Samahalnya Cakra yang kini tidak bisa lagi memanggil Rendra dengan panggilan Gege, ia terbiasa menyebutnya Abang setelah pindah ke Jakarta, menyesuaikan dengan Jinan yang saat itu juga sedang dalam masa pendekatan dengan tetangganya itu, juga Cakra yang sedang melakukan pendekatan dengan 4 Abang-Abangnya yang lain.
Meskipun begitu, Indonesia adalah negara toleransi. Cakra tidak pernah kewalahan menyetarakan dirinya dengan orang-orang yang berbeda ras dengannya, sebaliknya, dia malah senang karena ada banyak hal yang bisa ia ketahui.
"Aku cuma numpang, nggak merasa jadi penghuninya. Pergi dulu, Ge." Tanpa berniat kembali untuk sekadar mengulurkan tangan, Cakra melanjutkan langkah tinggalkan rumah saudaranya tersebut, dengan sebuah ransel berisikan baju-baju yang baru ia ambil dari lemari.
Ah, seperti anak yang kabur dari rumah.
Laki-laki dengan nama lengkap Reviantama Gustian Adeliano tersebut menelan saliva. Ia tidak bisa bersikap sekeras sang adik, pun tak tega. Sejauh ini, ia kerap membiarkan bocah itu melakukan apapun sesuka hati, toh dia sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang buruk dan mana yang benar. Menurut informasi, beberapa waktu belakangan Cakra sering menghabiskan sisa malamnya di rumah Rendra, menumpang tinggal di sana, Tama cukup lega mendengarnya. Yang penting, bocah itu masih berada dalam lingkaran aman Teman Sejiwa, tak perlu diawasi berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Menembus Cakrawala [END]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEEMPAT 'Semesta dan rumahnya' Cakra Septian Adeliano telah terlalu lama menyimpan cintanya yang usang untuk mengendap begitu dalam di dasar hatinya, sibuk menyelami perih yang tak seharusnya. Sedangkan Luna adalah yang terus...