"Kenyataan bahwa kita bukan siapa-siapa telah menjadi benteng paling sialan."
Jika bagi Haikala, seorang perempuan anggun nan manis itu ia sebut Semesta. Maka bagi Mahesa, ia punya seorang perempuan tangguh nan kokoh yang ia sebut jagat raya. Keduanya memiliki kelas yang berbeda, namun tentu cinta yang mereka bagi tak kira-kira.
Semua laki-laki itu memiliki versi mereka masing-masing untuk seseorang yang istimewa, sanggup membuat iri perempuan lain, contohnya Luna.
Menjadi saksi cinta yang tulus bukankah mengharukan? Luna juga ingin dicintai, sekuat Haikala mencintai Kara, selembut Mahesa mencintai Helena atau sesabar Narda menunggu Misselian. Sedang dirinya bagaimana? Tak pantaskah ia dicintai?
"Luna, belum tidur?" Suara Rendra membuat Luna yang sedang termenung di teras depan rumah menoleh. Sibuk mencari sesuatu yang entah apa, tak terasa waktu berlalu hingga pukul satu dini hari. "Udah malem banget, besok ada kelas, nggak?"
"Free, Ko. Aku cuma lagi belajar kunci nada baru buat acara amal di kampus minggu depan. Koko belum tidur?"
"Belum, Cakra minta buatin mi rebus, katanya belum makan malam. Kamu mau juga? Biar Koko tambahin porsinya."
Luna menggeleng cepat, menolak begitu saja. Akhir-akhir ini Luna mengurangi porsi makannya untuk menjaga proporsi tubuhnya yang sudah cukup. Ia tak ingin menambah sedikit lagi, bahkan kalau bisa berkurang. Katanya laki-laki lebih suka melihat cewek langsing, Cakra pun pasti begitu.
Ah, menyebalkan juga mengingat laki-laki yang ia mau adalah Cakra. Entah kebetulan atau apa, Luna jatuh hati pada laki-laki dengan gengsi setinggi matahari.
Menyiksa sih menyiksa, ia sudah menurunkan harga dirinya untuk memberi tahu perasaannya, tapi Cakra belum bisa menerima ketulusan Luna. Mungkin, ia belum merasa cukup, sedangkan Luna masih terlalu banyak kurangnya, tak bisa memaksa. Entah apa makna dari sembuh yang Cakra maksud, Luna tak sanggup bertanya waktu itu. Yang jelas, Cakra hanya butuh waktu. Entah sembuh dari cintanya terakhir kali, atau sembuh dari kemarahannya kepada Luna di masa lalu?
Saat Cakra bilang, ia tidak suka dengan perempuan berisik seperti Luna, dari sana Luna tahu kalau ia bukan perempuan yang Cakra harapkan.
"Gitar kamu udah dibenerin? Katanya kemarin ada senar yang kendor."
"Iya, udah, Ko. Cuma masih agak aneh suaranya, bisa aku akalin sih, aman."
Rendra menepuk pucuk kepala Luna sebanyak dua kali sebagai hadiah atas jawaban itu. "Jangan dipaksain, kalau capek cepet istirahat."
"Eum."
Rendra masuk kembali ke rumah untuk melanjutkan kegiatan memasaknya, membiarkan Luna kembali dilanda sepi, sunyi, sendiri. Meski terasa membosankan belajar seorang diri, ia tak punya pilihan. Seharian ini jadwal kuliahnya penuh, dilanjut bekerja di restoran, hanya tersisa malam untuk berlatih gitar karena besok ia harus latihan bersama band kampus. Bahkan saking sibuknya, untuk menjalin hubungan dengan seseorang pun kini tak sempat lagi. Yah, meski Luna sudah berniat untuk tidak berpacaran dengan siapa-siapa setelah ia mengatakan perasaannya pada Cakra. Tapi ..., kenapa rasanya sepi sekali, ya? Seperti hidup tak ada warnanya.
Ah, banyak pikiran. Luna jadi tidak fokus untuk belajar.
"Lun!"
Baru saja gitar diletakkan ke atas meja, seseorang sudah memanggilnya begitu nyaring. Suara Cakra memang tak pernah kenal waktu, untung mereka tinggal di rumah bukan di kost-kostan.
"Anggriska Luna Avery!"
"Berisik, Kra!"
"Sini, masuk!"
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Menembus Cakrawala [END]
Novela Juvenil[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEEMPAT 'Semesta dan rumahnya' Cakra Septian Adeliano telah terlalu lama menyimpan cintanya yang usang untuk mengendap begitu dalam di dasar hatinya, sibuk menyelami perih yang tak seharusnya. Sedangkan Luna adalah yang terus...