23- Kita Hanya Perlu Bicara

4.2K 512 1.3K
                                    

"Abang, aku sudah sedikit lebih berani menguatkan hatiku untuk mengatakan kata cinta kepadanya."

Daun berguguran kala hembus angin menerpa ranting-ranting pohon yang rapuh. musim hujan belum juga tiba, kemarau tahun ini lebih panjang dan menyiksa. Pohon-pohon kekeringan dan daun-daun mulai berjatuhan, gugur sebelum waktunya. Di depan teras, Cakra duduk seorang diri memandanginya pohon rambutan milik tetangganya, tinggi dan rimbun, daunnya gugur hingga ke halaman rumah Rendra dan menjadi sampah.

Pernah suatu hari, Cakra ingin meminta si pemilik pohon rambutan itu untuk menebang bagian pohon yang melewati pagar, sebab kesal juga kalau sudah masuk kemarau dan daun terus jatuh mengotori halaman seperti ini. Tapi waktu itu Rendra mencegahnya, Rendra bilang setiap pohon itu berbuah, ia selalu mendapat bagian, si pemilik bahkan mengatakan untuk mengambil buah rambutannya tanpa izin terlebih dahulu.

Nyatanya, kita hanya perlu saling memahami agar tidak kecewa, kita hanya perlu bicara dan membuat kesepakatan. Seperti Rendra dan pemilik pohon rambutan itu, hidup berdampingan tanpa merasa rugi, rukun tanpa menyakiti.

"Abang berangkat dulu, Kra." Rendra keluar rumah sambil menenteng sepatu kets berwarna putih kesayangannya. Tidak ketinggalan tas berukuran cukup besar, selalu penuh berbagai macam barang super lengkap, apapun ada di sana. "Tadi gue masak nasi goreng, gue sisain buat lo tuh di lemari."

"Makasih, Bang."

Sepatu sudah terpasang sempurna, Rendra berdiri dan sibuk merogoh saku celananya mencari kunci mobil.

"Tadi Jonathan nelpon gue katanya lagi otw ke sini, lo nggak siap-siap?"

Cakra menatap Rendra dengan alis bertaut, memangnya hari ini mereka mau kemana? Bukannya mereka libur?

"Mandi gih, ntar Jonathan ngamuk loh kalo lo masih koloran kaya gini."

"Hari ini kita nggak ada acara tuh." Cakra sambil mengingat-ingat. Benar, kok, tidak ada acara. "Oh paling mau ngajak gue nonton balapan."

"Paling si, yaudahlah gue duluan ya, Jinan udah nelponin terus ini haduh ..., ntar kalo pergi kuncinya jangan di bawa, kasian Luna ntar ga bisa masuk, dia nggak bawa kunci."

"Ho'oh, yaudah sana berangkat."

Rendra sudah sibuk mengeluarkan mobil dari garasi, sedangkan Cakra tak sedikitpun bergerak membantu sekedar membukakan pagar rumah. Ia tatap halaman yang penuh sampah daun kering, kemarin sore Rendra sudah menyapunya, tapi sekejap mata saja halaman itu kotor lagi.

"Woi! Bukain pager kek!"

Cakra hampir terlonjak mendengar suara Rendra. Dengan gerakan cepat turun dari teras untuk membukakan gerbang. Dasar, seperti pangeran saja minta dibukakan pagar segala.

"Pergi dulu ya, assalamualaikum. Inget pesan-pesan-

"Iya iya Bang ..., buruan udah ditunggu Jinan."

Mobil sudah meninggalkan rumah setelah Rendra terkekeh mendengar jawaban Cakra. Matahari sudah di atas kepala dan teriknya membuat tubuh terasa kehilangan tenaga, Cakra bahkan tidak bisa membayangkan keluar rumah pada jam ini menggunakan motor Jonathan, sedangkan laki-laki itu pasti ogah-ogahan naik mobil Cakra yang butut. Lagipula, jika benar Jonathan akan mengajaknya nonton balap motor seperti perbincangan tadi malam, mereka tidak mungkin datang tanpa pamer motor juga.

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang