9- Sesuatu Yang Tak Tampak

3.5K 513 116
                                    

"Terkadang kita cukup diam untuk menjaga hati seseorang."

Jonathan terkikik melihat wajah kusut Cakra sambil menenggak air dingin yang baru ia ambil dari kulkas. Pemuda itu baru saja selesai mandi, bahkan masih memakai handuk dan membiarkan tubuhnya shirtless. Di sofa berwarna abu-abu, Cakra tampak menyandarkan tubuhnya dengan malas.

"Percuma dong tadi lo manjat pager biar bisa masuk." Jonathan masih membayangkan bagaimana kesusahannya Cakra memanjat pagar karena pagar kayu rumah Rendra dikunci, sedangkan dia hanya punya pintu cadangan rumah. Lagian kenapa sih pagar segala dikunci? Dasar Rendra perfeksionis. "Tadi ngotot mau balik ke rumah Rendra, sekarang kenapa berubah pikiran?"

"Lo punya apa di kulkas? Gue laper."

"Selalu." Jonathan menggeleng entah yang keberapa kalinya selama Cakra muncul lagi di hadapan Jonathan.

Sepertinya, merubah topik obrolan adalah keahlian Cakra.

"Ada mi instan, telur, nggak ada sayur tapi ada tomat."

Mendengar penuturan Jonathan, Cakra melangkah mendekati kulkas yang beberapa menit lalu baru saja dibuka oleh Jonathan. Setelah mengeluarkan dua butir telur dan dua buah tomat, Cakra menggeledang lemari pantri, lalu mengambil 3 bungkus mi instan rasa ayam bawang.

"Gue pake baju dulu." Jonathan melangkah masuk ke kamar. Dalam hening, Cakra hanya menyibukkan diri dengan bahan-bahan yang baru ia ambil dari kulkas, mengurusnya tanpa banyak cakap, diam seperti kehabisan suara. Meski entah kepalanya, entah seberisik apa.

2 hari lalu di Jogja.

Sudah pukul tujuh pagi dan Cakra masih menutup matanya dengan sangat rekat. Pelan-pelan cahaya matahari masuk melewati sela jendela, mencoba mengusik tidur Cakra yang nyenyak, meski hanya bersandar pada dinding dengan posisi terduduk tanpa selimut.

"Kra," panggil seseorang sambil mencoba mengusap lengan Cakra pelan. Antara takut membangunkan, tapi waktu seolah memburu mereka berdua. "Cakra bangun, kita ada jadwal."

Laki-laki itu mengerjap lalu membuka matanya perlahan-lahan. Dilihatnya Hazel tengah berdiri menghadapnya, dengan baju yang sudah diganti, rambut yang sudah diikat rapi, tas menyampir di bahunya juga dua koper make up berukuran sedang ia tenteng tanpa protes.

"Tadi Kak Jonathan anter baju lo, mandi aja di sini."

Kamar yang asing, Cakra bahkan masih berada di ambang mimpi dan kesadaran yang samar-samar. Sekilas ingatan pelan-pelan menelusup di pikiran. Terakhir kali Cakra tersadar, ia membawa Hazel ke kamarnya dan meminta tolong Maya- teman sekamar Hazel untuk merawat Hazel yang pingsan, lalu Cakra tertidur di sini, sofa di kamar Hazel dan Maya, sampai pagi.

"Lo dah baikan?"

"I'm ok, cuma agak shock aja semalem, nanti gue ceritain di perjalanan. Gue turun duluan ya."

Cakra hanya mengangguk meski ia masih sedikit linglung. Di meja, ada handuk dan baju milik Cakra, lengkap dengan dalamannya sekaligus. Jonathan berbaik hati mengantarkannya ke kamar ini, sebab ia sudah bisa menjamin Cakra tak akan sempat membereskan apapun saat ia bangun tidur.

Lelah? Siapa yang tidak lelah menjadi Cakra. Setelah seharian bekerja di lapangan, lalu malamnya ia harus berkeliling bersama Hazel mencari pouch make up sialan, lalu kemudian menjaga perempuan itu karena pingsan. Waktu istirahat Cakra benar-benar sangat sedikit.

Saat waktu menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit, Cakra sudah selesai. Kesadarannya telah utuh, tak butuh waktu lama untuk bersiap-siap. Kini, ia sudah berada di balik kemudi mobil pribadinya, bersama Hazel, Maya dan Jonathan.

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang