7- Ini Bukan Yang Pertama

3.7K 487 91
                                    

"Aku yang sering kau lambungkan dan kau hempaskan sesuka hati."

Malam yang cukup larut untuk digunakan terjaga oleh seseorang yang sudah seharian sibuk bekerja diindustri hiburan. Malam pertama di Jogja, Cakra memiliki kamar berdua dengan Jonathan untuk dipakai bersama, tapi seseorang yang lebih tua entah pergi kemana.

"Lucu banget kalo cemburu hehehe." Cakra geleng-geleng sambil memeluk bantal guling hotel. Senyum merekah hingga lesung pipi yang selama ini tak diketahui keberadaannya tercetak sempurna di pipinya. Sungguh, Cakra tidak tahu kalau bayangan malam itu terus membuatnya senang sampai sekarang. "Masih bangun nggak ya tu bocah?"

Sekarang sudah pukul 2 dini hari tapi Cakra masih membayangkan bagaimana Luna bersemu merah muda setelah ia melontarkan kalimat tak beraturan itu.

Bagaimana pada akhirnya Cakra harus pergi karena Jonathan sudah datang menjemputnya dengan motor kesayangan, Cakra pikir perbincangan kemarin akan sangat seru jika diteruskan.

Malam hari di taman.

"Lo cemburu, Lun?" Cakra menyelidik tatapan Luna saat semu merah sempat tertangkap netra. Mati-matian Luna menyembunyikan, mati-matian juga Cakra berusaha melihatnya. "Cemburu kalau gue punya pacar?"

"Dih, ngapain gue cemburu! Gue cuma heran sama pertanyaan lo itu ya. Ngaduin ke dia kalau kita ciuman? Lo pikir gue cewek apaan mau ciuman sama mantan jelek kaya lo!"

"Terus muka lo yang merah itu maksudnya apa?"

"Panas!"

"Terus intonasi ngomong lo yang ngegas itu maksudnya apa?"

"Ya lo nyebelin!"

"Emang gue ngapain? Bikin lo cemburu?"

"Yaiyalah tolo- eh enggak enggak!"

"Bhuahahahaa, bocah tolol!" Cakra melempar bantal guling sampai jatuh ke lantai, ia sudah membuat spray yang ditata sedemikian hati-hati menjadi berantakan tak karuan.

"Cemburu katanya hihihi." Layar ponsel sudah dinyalakan dan Cakra kini tengah membuka roomchat dengan Luna dengan rencana ingin mencoba menghubungi via telepon. Jika diangkat bagus, tapi jika tidak Cakra tak akan mengulang sampai dua kali.

Maka saat telepon Cakra mulai berdering, pemuda itu menatap layar ponselnya dengan begitu lekat.

C'mon Luna, kapan lagi gue nelpon lo jam segini coba?

Cakra merasa waktu begitu lambat, dadanya berdesir hebat. Sial, sudah lama ia tak se deg-degan ini.

Cklek!

"Kra-" seseorang menggantung kalimatnya saat menemukan Cakra sibuk dengan ponsel dan senyum merekah bagai bunga yang baru bersemi pagi hari. Tak ingin mengganggu waktu menyenangkan itu, seseorang yang notabenenya adalah Jonathan masuk ke dalam kamar. "Woi, ada yang nyariin."

Cakra meletakkan ponselnya tengkurap, panggilan masih menunggu. "Siapa?"

"Hazel, tadi nanya tentang pouch make up yang dibawa ke lapangan, katanya nggak ada di koper make up. Gue juga nggak tau, terus bilang kalau barang-barang syuting lo yang urus."

"Nggak bisa besok aja apa? Udah malem gini." Cakra menilik ponselnya, panggilan tak terjawab. Mood Cakra langsung jatuh rasanya. "Mana anaknya?"

"Tuh, di luar."

Cakra menghela napas sebelum akhirnya turun dari ranjang, membiarkan celana pendek membelit bagian atas kakinya alih-alih ganti menjadi celana panjang yang lebih sopan. Lagipula ini sudah malam dan hanya ada Hazel saja, kan?

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang