"Aku menerjang hujan dan badai yang tak pernah ingin reda, aku bisa melewatinya karenamu."
Malam semakin bertambah larut seiring berjalannya waktu. Detik jarum jam yang mengalun pelan perlahan terdengar lebih kentara dari berisik yang sempat memenuhi ruang tamu. Mahesa sudah pergi meninggalkan rumah Rendra karena harus menjemput istrinya di rumah orang tuanya. Beberapa hari belakangan, Helena sering mendatangi Karenina, katanya ingin belajar tentang merawat bayi dan melihat tumbuh kembang si kembar. Meski sedikit pedih jika diingat, Mahesa selalu percaya bahwa waktu mungkin sedang memberi rumah tangganya sedikit ujian.
Tak apa, hidup memang tak selalu sesuai apa yang kita mau, bukan?
Mahesa tidak sepenuhnya kehilangan harapan, Tuhan hanya memberi jeda untuk mereka agar saling berbagi rasa sayang berdua, lebih lama.
"Bang, nggak tidur?" Suara Cakra membuat satu-satunya orang yang masih terjaga menoleh.
Narda terlelap dipangkuan Jinan, sedangkan Jinan tertidur pulas di pundak Jonathan. Jonathan sendiri bersandar pada kaki sofa, dikakinya berserakan bungkus kacang, kulitnya juga.
Tidak jadi minum air keran, beberapa kaleng cola akhirnya dibeli setelah Jonathan mengalah untuk pergi keluar.
Kini, Rendra yang semula tengah sibuk menyimpuni sampah menghentikan aktifitas. Sosok Cakra berdiri setelah kembali dari kamar mandi untuk buang air.
"Belum, kalau lo ngantuk tidur aja duluan. Tapi sebelum itu ambilin kasur lantai dulu ya, bentangin buat mereka."
Cakra mengangguk dan segera masuk ke kamar untuk mengambil barang yang dimaksud. Hanya butuh 5 menit untuk kembali lagi ke ruang tamu, lantai kosong yang Cakra pijak kini sudah diisi kasur lantai berwarna abu-abu.
Saat melihat ke ruang tengah, sosok Rendra tidak ada. Lantai yang beberapa menit penuh dengan sampah kini sudah bersih, Rendra sendiri yang membereskannya.
Cakra berniat pergi keluar setelah menilik kamar Luna. Perempuan itu sudah lelap, baju piyama berwarna biru dengan motif kucing sudah melapisi tubuhnya dengan hangat. Senyum tipis terpatri singkat di antara bibirnya, Cakra kembali berjalan melangkah keluar.
"Nggak tidur?"
Cakra menggeleng mendengar pertanyaan Rendra. Ia duduki kursi santai di teras, bersisian dengan Rendra hanya terhalang meja kecil.
"Udah gue bentang kasurnya, tapi belum gue bangunin tuh bocah-bocah suruh pindah."
"Nanti aja, biar gue yang bangunin."
Cakra mengangguk pelan. Ia tatap Rendra yang sibuk menatap pohon-pohon bunga kamboja peliharaannya. Ada sekitar delapan pot bunga yang masih kecil, sedangkan tiga pohon lagi berada di pot besar. Rendra mulai rajin menanam pohon ini setahun lalu, semenjak Haikala pergi.
Cakra sendiri tidak tahu apa alasannya. Yang ia tahu, beberapa pohon kamboja peliharaan sudah tertanam di sebelah pusara Haikala dan Tante Lily, menemani siang dan malam mereka dalam keteduhan.
"Maafin, Abang ya." Tiba-tiba, Rendra bersuara lagi setelah hening cukup lama.
Cakra masih dengan posisi awal, hanya menatap Rendra. Dan Rendra pun masih menatap pohon-pohon bunga peliharaannya. Terkadang, percakapan tanpa bertatap mata memiliki arti berbeda.
"Kayanya masih banyak hal yang nggak bisa Abang pahami tentang lo."
Cakra masih hening. Ia tak sanggup menyusun kata saat ini. Seolah-olah ia lebih berani berada dalam perdebatan sengit alih-alih perbincangan dalam di tengah malam.
"Maaf bikin lo kecewa." Kini, Rendra menatap ke arah Cakra dengan mata sayu yang begitu kelelahan. Sungguh membuat setengah hati Cakra seperti dihujam benda tajam, pedih dan sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Menembus Cakrawala [END]
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEEMPAT 'Semesta dan rumahnya' Cakra Septian Adeliano telah terlalu lama menyimpan cintanya yang usang untuk mengendap begitu dalam di dasar hatinya, sibuk menyelami perih yang tak seharusnya. Sedangkan Luna adalah yang terus...