5- Perbatasan Antar Jendela

4.1K 519 137
                                    

"Bahwasanya cara melukai seseorang itu mudah, sebab kata bisa lebih tajam dari bilah pedang."

Cakra melirik skeptis temannya di sebelah beberapa kali, terheran-heran karena terus tersenyum dengan layar ponsel, seperti orang tidak waras.

Sedangkan Cakra, hanya bersidekap sambil menatap sekitar dengan malas, orang-orang berlalu lalang di hadapannya, entah untuk kembali atau pergi, bandara memang diciptakan untuk itu.

"Lama banget sih?" Ini entah sudah keberapa kalinya Cakra melontarkan kalimat yang sama. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 7, di luar juga sudah gelap.

"Berhenti ketawa sama ponsel lo, Jinan." Seseorang yang disebut namanya menoleh, sisa senyum masih terpatri di wajahnya, pelan-pelan pudar karena melihat wajah Cakra yang masam.

"Kenapa sih? Dari tadi sensi mulu."

"Bang Narda lama," keluhnya sambil menghela napas berat untuk yang kesekian kali.

Jinan yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng. Sudah hapal kalau Cakra memang tak suka disuruh menunggu, dan tak punya hal yang menyenangkan untuk mengisi kekosongan itu. Berbeda dengan Jinan, dia bisa menggunakan ponselnya dengan bijak, contohnya menonton video YouTube atau berselancar di sosmed sambil membalas pesan-pesan lucu di kolom komentar video entah milik siapa yang lewat di berandanya. Jinan memang serandom itu, jangan heran.

"Oh ya omong-omong lo kemana aja sih belakangan ini?" Cakra menatap Jinan yang berniat kembali menonton ponselnya. "Berhenti main ponsel lo, Nan. Gue bosen."

"Oke-oke." Jinan mengalah, memilih untuk mematikan layar ponsel dan menyimpannya di saku jaket. "Lo tau project baru Pak Hadi?"

"Band baru yang rencananya mau debut di bawah manajemen Bang Jo? Ya taulah, itu kan tim gue."

"Nah!" Jinan menjentikkan jarinya, menatap Cakra dengan antusias. "Gue disuruh nyari talent lagi, soalnya yang megang bass belum bisa debut tahun ini, dia masih sering lupa kunci nada."

"Terus udah dapet?"

"Belum."

Cakra menghela napas berat, mencoba ikut berpikir seperti Jinan, mengingat-ingat siapa tahu ada teman atau kenalan yang bisa ia rekomendasikan.

"Luna, gimana?" Itu Jinan, tiba-tiba lampu menyala di atas kepalanya. "Dia pinter main gitar, kan? Pasti bisa megang gitar elektrik."

"Bisa kok." Cakra langsung yakin. "Dia punya gitar elektrik di rumahnya, pasti bisa mainin."

Sejenak Cakra menimbang-nimbang. Tentang Luna dengan bakatnya itu, apakah bisa ia pertimbangkan. Mengingat Luna sudah akrab dengan benda berdawai itu sejak sekolah dasar, gitar adalah sahabat Luna, melekat seperti darah dan nadi.

"Tapi kayanya dia ga bisa gabung band atau masuk ke entertainment. Dia masih kuliah, dan lo tau bagi Bang Rendra pendidikan nomor satu."

"Ah, iya, Bang Rendra." Jinan baru saja ingin bernapas lega karena mendapatkan seseorang yang tepat tapi ternyata ia kurang perhitungan.

"Tapi kalau join kan masuk tim lo, Kra. Kayanya Bang Ren nggak keberatan karena udah ada lo yang jagain."

Cakra tersenyum tipis sambil kembali bersidekap. Apa-apaan? Memangnya dia baby sitter?

"Nggak deh, Luna belum saatnya masuk ke dunia kerja apalagi entertainment, capek gila, gue nggak sanggup denger dia sambat tiap hari."

"Tapi lo bisa ketemu Luna tiap hari."

Mendengar perkataan Jinan, Cakra menyipit, lalu menatap Jinan dengan skeptis. "Wah, gue yang ketemu tiap balik ke rumah Bang Rendra aja udah kaya sesak napas, ini malah harus ketemu di tempat kerja, di rumah juga. Mohon maaf di atas materai deh gue, ga sanggup."

4. Menembus Cakrawala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang