"Cinta kemarin, aku membawa isi dunia, sedangkan hari ini aku hanya membawa diri sendiri. Sebab yang kau butuhkan, hanyalah pelukanku."
Pagi ini masih begitu dini untuk Cakra yang biasanya dibangunkan cahaya mentari. Kabut belum pergi, kelabu tapi bukan karena akan hujan, dingin yang menusuk pori-pori. Cakra membuka pagar rumah dengan tangannya yang malas, bangunan bertingkat menyambut sesampainya di sana. Sepi, mungkin penghuninya masih nyaman bergelung di bawah selimut mereka, atau menyesap kopi dan membaca berita-berita terbaru dari halaman beranda sosmed alih-alih koran.
Setelah melewati halaman, Cakra berhenti di teras. Secangkir kopi sisa tadi malam masih ada di meja, isinya tandas, entah siapa yang membiarkannya terus di luar, merusak pemandangan saja.
Setelah meraih gelas kotor tersebut, Cakra membuka pintu utama. Ia punya banyak kunci cadangan, ya- dia membuatnya untuk membobol banyak rumah orang. Kunci cadangan rumah Rendra (jangan tanya, rumah itu sudah seperti miliknya juga) kunci cadangan rumah Kara (di buat setelah beberapa minggu kepergian Haikala, dalam maksud jika ada sesuatu yang penting) kunci rumah Jonathan (yang ini sudah hilang, tapi Cakra juga pernah membuatnya). Yang terakhir, kunci rumah saudara kandungnya, yang katanya rumah Cakra juga tapi entahlah. Sampai detik ini, Cakra tidak pernah menganggap rumah ini rumahnya.
Saat pintu utama dibuka, yang ada hanya Ayumi, tengah sibuk membereskan mainan yang berserakan, memasukkan semuanya ke dalam kotak mainan. Cakra tepekur beberapa saat, sepertinya kakak iparnya itu tak menyadari kedatangannya.
Yah, lagipula langka sekali Cakra pulang pagi buta, biasanya ia datang sore atau malam hari, hanya untuk mengambil baju dan menyimpan yang lain di lemari dengan keadaan masih terbungkus plastik laundry.
Beberapa detik membiarkan Ayumi menyelesaikan pekerjaan, Cakra berdehem lirih sambil meletakkan cangkir kopi yang ia bawa ke atas nakas, membuat Ayumi yang berada di tengah sepi dan monolognya sendiri menoleh, sebuah bola basket sebagai mainan terakhir masuk ke dalam box.
"Masih inget pulang?" katanya sambil mendorong box penuh mainan itu ke dalam sebuah kamar kosong.
Cakra diam tak bicara, ia melangkah pelan sambil menenteng plastik berisikan bajunya yang sudah dicuci, bermaksud pergi ke kamarnya.
"Semalem Papa dateng, nyariin kamu." Mendengar laporan itu, Cakra langsung menoleh cepat. Ia bisa melihat Ayumi berdiri di ambang pintu kamar sang anak, rambut ikalnya diikat cepol, gesture wajahnya selalu kelihatan garang meski hanya diam. Ya, dia Ayumi, saudara ipar Cakra, perempuan yang membuat Cakra sedikit ngeri karena jarang tersenyum, apalagi dengan Cakra.
"Kenapa nggak nelpon aku?"
"Kata Mas Tama kamu ke Jogja."
"Udah pulang." Cakra mengurungkan niat masuk ke kamar, beralih menghadap Ayumi.
"Kamu nggak kasih kabar, jadi jangan salahkan Mbak atau Gege-mu. Mas Tama aja tahu kamu ke Jogja dari Mahesa."
Rahang Cakra sedikit mengeras. Kenapa sih? Kenapa nada bicara Ayumi selalu menyebalkan?!
"Ngapain Papa ke Jakarta?"
"Ngurus surat rumah."
Sesaat, Cakra bingung. Tapi saat ia akan membuka mulut untuk bicara lagi, Ayumi lebih dulu bersuara.
"Papa nyuruh Gege-mu balik ke Surabaya dan tinggal di sana, jadi rumah ini mau dijual."
Saat Cakra mendengar penuturan itu, darahnya berdesir hingga hatinya turut merasa ngilu. Dia memang tidak menganggap rumah ini sebagai miliknya, tapi kenapa orang-orang di dalamnya selalu membuat Cakra merasa tidak punya hak apa-apa? Bagi mereka, Cakra itu siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
4. Menembus Cakrawala [END]
Novela Juvenil[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEEMPAT 'Semesta dan rumahnya' Cakra Septian Adeliano telah terlalu lama menyimpan cintanya yang usang untuk mengendap begitu dalam di dasar hatinya, sibuk menyelami perih yang tak seharusnya. Sedangkan Luna adalah yang terus...