"karena lo cuma satu jadi harus dijaga" - Melvin
"nantang dirusak lo?" - Haekal
"lo kalau mau nakal, juga harus dibimbing" - Jaevan
"ck!" - Chandra
"biarin kita brengsek, yang penting lo nggak" - Jenan
"lo boleh ngapain aja, asal jujur" - Raja
"mau...
and here we go, the truth will spealed but, this is ending? it's fireworks
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
────୨ৎ────
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi itu pesawat tujuan Melbourne telah terbang, membawa Vasya, Chandra, Tian dan juga Wendy. Sedari semalam gejolak perasaan Vasya bagaikan angin ribut yang terus berpusar. Vasya antara tak sabar, tak siap, dan tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan ayahnya setelah hampir lima tahun ini mereka berpisah. Berbekal maaf atas absennya dirinya, Vasya mencoba berdamai. Toh, satu-satunya keluarga kandung yang tersisa hanya Ayahnya.
Mata gadis itu tak bisa berhenti menatap tiap inchi desain bangunan bergaya kontemporer di hadapannya. Semakin dibuat takjub ketika kakinya melangkah masuk, banyak sekali lukisan yang tak begitu asing di mata Vasya. Benar, lukisan mendiang Mamanya. Lukisan cat minyak yang tak pernah menonjolkan warna kontras, merah muda, biru muda, putih, dan coklat muda selalu menjadi khas. Terutama lukisan bunga lili yang saat ini dipandang gadis itu, matanya sudah berair sedari tadi.
"Honey...."
Vasya menegang. Suara itu..suara yang nyaris tenggelam di dasar hatinya karena kabut gelap yang terus menerus menebal memudarkan ingatan.
Tangan setengah keriput, jemari itu, Vasya paham betul, jemari itu menggenggam tangannya. Vasya masih tak berpaling sedikitpun dari lukisan bunga lili ini. Meski gadis itu sadar siapa yang kini ada di sampingnya.
"Maafkan Daddy, Honey.."
Sial. Pecah sudah, Vasya tak bisa menahan air mata yang sedari tadi sudah memberontak untuk menembus keteguhannya. Sial kedua, Vasya tak menemukan Chandra, Tian, dan Wendy di sekitarnya.
Vasya tenggelam dalam pelukan, aroma tubuh laki-laki yang ia temui lima tahun silam ini sama sekali tak berubah. Vasya masih ingat, bagaimana dulu ayahnya selalu mencampurkan bau vanila ibunya di parfum miliknya, ya itulah khasnya. Mengenang yang telah tiada. Bagai memeluk dua jiwa dalam satu raga, Vasya berderai air mata, membalas pelukan erat ayahnya. Begitu melegakan, sungguh, laki-laki itu mengukir senyum begitu penuh syukur sembari mengusap halus pucuk kepala gadis semata wayangnya.