Bab 7

704 41 7
                                    

Selamat malam.

Hari ini satu bab agak panjang, nggak apa-apa, ya?



"Sebenarnya, saya enggak mau ada bayi ini, Dok." Pandangan Thea tidak lepas dari tas bermerek yang ia cengkeram erat di pangkuan.

Berdetik-detik ia diam, tidak ada tanggapan dari lawan bicaranya. Sunyi dan dingin kian menyergap. Hingga akhirnya dengan perlahan, ia menaikkan pandangan ke hadapan dokter perempuan yang berada di balik meja. Sebaris tipis senyuman tercetak di wajah perempuan berwajah teduh, berbalut snelli itu.

"Bu Theodora adalah pasien terakhir saya hari ini." Dokter Diasti akhirnya bicara. Ia meletakkan pena di atas buku resep, lalu mengaitkan jemari kedua tangannya. "Saya bisa menyediakan waktu, kalau ada sesuatu yang ingin Bu Theodora ceritakan. Barangkali setelah itu, kita bisa cari jalan keluarnya bersama kalau Ibu mau. Setelah menebus obat di bagian farmasi, saya tunggu di taman depan."

Thea menelan ludah. Ia ragu, tapi rasanya ia tidak tahu lagi langkah apa yang mesti dia tempuh.

"Terima kasih banyak, Dokter." Perempuan itu kemudian beranjak.

Kecuali Nilam, tidak ada orang yang pernah jadi tempat Thea bisa bebas bercerita soal masalah pribadinya. Namun, kali ini rasanya ia sedang berada di tepi jurang dan tidak melihat adanya pertolongan. Tidak mungkin kembali sebab jalan setapak yang semula dilalui lenyap tanpa bekas.

Dalam langkah yang sedikit ragu, perempuan itu menuju ke tempat di mana dokter kandungannya bilang tadi. Sebenarnya, Thea sama sekali tidak mengharapkan sosok itu ada di sana. Seorang dokter yang sibuk, apa mungkin mau meluangkan waktu begitu? Namun, rupanya Dokter Diasti sungguhan ada di sana. Tampak berbincang dengan raut muka cemerlang dengan seseorang.

Thea berjalan mendekat, kemudian menyapanya. Keduanya duduk di bangku paling rindang di pinggir taman.

"Kehamilan saya adalah sebuah kebodohan." Suaranya serak. Perempuan itu menjeda ucapannya. "Saya salah, Dok. Saya melakukan itu dengan seseorang yang tidak saya kenal."

Dokter Diasti menoleh kepadanya. Meski Thea tahu ada beragam tanya tersorot di pandangannya, tapi tidak terasa ada penghakiman di sana. Dokter Diasti menurunkan kacamata. "Sebelumnya saya minta maaf, tapi Anda korban—"

"Bukan," potong Thea. "Saya enggak bisa bilang apa yang terjadi tanpa persetujuan, Dok. Waktu itu saya memang mabuk, tapi saya cukup sadar kalau tidak ada paksaan saat kejadian."

Thea menghela napas panjang. "Saya tahu, saya bukan anak kecil jadi saya mestinya sadar akan konsekuensi dari perbuatan yang saya lakukan, tapi ... tapi saya bingung mesti bagaimana."

"Saya belum siap punya anak. Dengan kejadian yang membuat saya hamil, saya merasa saya tidak pantas menjadi seorang ibu. Dan, yang terutama saya tidak mengenal secara pribadi laki-laki itu, Dokter." Thea mengusap bulir air mata yang barusan terbit di pelupuk. Perempuan itu menggeleng. "Saya memang sudah cukup usia untuk hamil dan melahirkan seorang anak. Saya sudah dewasa, saya bisa saja membiayai dan tidak takut soal finansial, tapi ... tapi saya rasa keluarga saya akan sangat kecewa dengan keadaan saya sekarang. Saat ini hamil sama sekali tidak ada di rencana hidup saya, Dokter. Saya punya usaha yang saya bangun dengan nama baik dan perjuangan belasan tahun. Saya ... enggak siap kehilangan apa yang selama ini saya dapatkan."

Dokter Diasti mengulurkan tisu. Perempuan berwajah teduh itu menangkup tangan Thea. "Saya mencoba memahami posisi Bu Theodora. Pasti sulit sekali. Namun, aborsi jelas bukan sebuah pilihan yang bisa saya berikan. Selain karena melanggar Undang-undang, kode etik, dan sumpah dokter, kondisi Ibu juga sehat, demikian bayi yang ada di kandungan. Saya sebagai dokter tentu akan sangat bahagia ketika bisa mendampingi sampai ibu dan bayinya bisa bertemu dengan kondisi sehat dan menggembirakan. Sampai hari ini saya meyakini hamil dan melahirkan adalah sebuah keajaiban Tuhan. Entah kenapa saya juga meyakini kalau Anda adalah sosok perempuan hebat yang dipercaya oleh Tuhan untuk berperan dalam kreasi-Nya itu terlepas dari apa yang terjadi sebelumnya."

Tentang Cinta Tanpa SemulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang