Bab 29

2K 89 23
                                    

Lily

Hari ini kosong, Za? Boleh ke apartemenmu?

Pesan dari Lily itu tidak ia balas bahkan sejak dua hari yang lalu, sejak Lily mengirimkannya di tengah malam selepas ia merampungkan pertunjukan di The 88 Club & KTV.

Reza membayangkan pertemuannya dengan Lily di restoran Jepang yang tak berlangsung lama. Pembicaraan yang itu-itu saja, tentang perseteruannya dengan Juan, permintaan maaf Lily tentang merusak kariernya secara tidak langsung, juga soal hubungan mereka.

Reza tidak bisa memungkiri kalau perasaannya kepada Lily yang semula menggebu, menjadi layu. Yang ada Reza malah meragukan segala tentang mereka. Apakah perasaannya sungguh suka dan cinta? Apa sungguh Lily adalah sosok yang ingin ia bawa sampai maut memisahkan mereka? Sebab kenyataannya, selepas apa yang terjadi, emosinya menjadi hampa.

Yang ada malah pikiran soal perempuan berambut merah yang dingin dan kaku yang entah sedang melakukan apa kini. Perempuan yang pernah mengandung anaknya. Perempuan yang mengatakan tidak membutuhkan tanggung jawabnya. Mestinya Reza bisa meninggalkan segala tentangnya di bagian sejarah hidup saja, tapi entah kenapa sampai detik ini, beberapa minggu setelah pertemuan terakhir mereka tanpa sengaja waktu itu, Thea sama sekali tidak lekang dari ingatan.

Reza mengusap muka. Pikirannya dipenuhi putaran kejadian soal mereka. Soal perjuangan, soal interaksi ganjil, pun soal kehilangan. Kalau kedatangan Thea dan sosok kecil dalam perutnya adalah untuk menyadarkan Reza, Semesta sudah benar-benar berhasil melakukannya.

Tiga bulan lepas kepulangannya dari Salatiga, tidak satu kali pun ia berpikir untuk kembali hidup seperti dulu-dulu. Datang, perform, minum sedikit, lalu pulang tanpa pelukan seorang perempuan. Begitu terus sampai hari ini.

Getar ponselnya tiba-tiba memecah lamunan Reza.

"Ya, Ma?" sapa Reza, seraya membuka pintu geser apartemennya.

"Kapan ke rumah? Undangannya Inge enggak diambil?" tanya Mamanya.

Reza mengapit ponsel di antara bahu, sementara kedua tangannya mengambil rokok dan korek. "Ngapain Reza dikasih undangan?"

"Loh, bukan buat kamu. Buat Thea."

***

Thea meletakkan buku kontrol kehamilannya di laci paling bawah di kamarnya. Dijadikannya satu beberapa benda yang berkaitan dengan kehamilannya ke sebuah amplop besar yang ia tulisi nama anaknya. Michael Putra Devananta. Ditaruhnya sejajar dengan buku kontrol di laci, lalu ditutupnya. Ia menghela napas panjang, seolah ini adalah ucapan yang benar-benar perpisahan.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain melanjutkan hidup setelah kehilangan yang berat. Perempuan itu bangkit berdiri, lalu keluar dari kamarnya. Namun, saat hendak menuju ke meja kerja, suara mobil berhenti di depan rumahnya membuat Thea berbelok ke arah ruang tamu.

Reza?

Thea berdiri kaku di jendela, menatap sosok itu mendekat ke muka pintu. Tak lama terdengar ketukan.

Entah buat apa Reza datang lagi. Thea memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak, menghembuskan napas pelan dari mulutnya. Setelah dirasa lebih nyaman dan tenang, ia membuka pintu.

Ditatapnya sosok yang tersenyum di ambang. Pria berkaus putih dan celana jeans belel itu tampak bersih dan aroma segar yang mengingatkannya pada lautan menyergap indra penciuman Thea.

"Gue mau kasih undangan," ucap Reza, yang langsung mendapat tatapan kaget dari Thea.

"Undangan? Lo mau nikah?" tanya Thea, tergagap.

Satu bibir Reza terangkat. "Mau."

"Ah, selamat." Thea mengupayakan senyuman, lalu memalingkan pandangan.

Tentang Cinta Tanpa SemulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang