Bab 27

614 50 6
                                    

Sejak menginjakkan kaki di ruangan besar ini, Thea sudah mendapati tatapan dan bisik-bisik dari sekitaran. Meski begitu, Thea paham benar, sebab apa yang terjadi padanya memang bukan hal yang terpuji ditilik dari norma kehidupan masyarakat di sini. Hamil di luar nikah, dituduh menjadi selingkuhan seseorang, padahal selama ini ia menekankan penjenamaan pribadi untuk menciptakan citra baik sebagai seorang perempuan mandiri. Seolah segalanya sirna dalam sekali kedip.

Namun, hidup terus berjalan. Ia harus memperbaiki kerusakan-kerusakan oleh ulah cerobohnya sendiri di samping menambal luka kehilangan lagi.

Thea mengembuskan napas, ketika namanya menggema dari pengeras suara. Sania memanggilnya untuk naik ke atas panggung.

"Semangat," bisik Nilam, sebelum Thea beranjak.

"Selamat siang, semangat pagi!" ucap Thea dengan senyuman lebar. "Terima kasih buat Kak Sania yang sudah memperbolehkan saya berdiri di sini, padahal enggak lagi terima reward dan enggak memberi kelas buat teman-teman semua."

Perempuan itu menghela napas panjang sembari mengamati puluhan orang yang duduk di depannya. Ia berupaya mengatur emosi, meredakan debaran dada yang kian tidak terkendali. Tentu ini berbeda dari memberikan kelas di depan ratusan orang, sebab kali ini ia akan menjelaskan sesuatu tentang potongan lara yang barusan ia torehkan ke dalam hidupnya sendiri.

Thea menelan ludah, kemudian berdeham. "Pertama-tama saya minta maaf karena kesalahan saya membuat SBI dan teman-teman mendapatkan kegaduhan yang sangat mengganggu."

"Jadi teman-teman, saya sudah bertemu dengan Dave selaku perwakilan dari SBI dan membicarakan soal permasalahan saya kemarin. Saya memaklumi dan mendukung tindakan SBI yang membuat pernyataan kalau apa yang terjadi adalah di luar tanggung jawab SBI sebagai perusahaan tersendiri. Sedangkan apa yang terjadi pada saya yang merupakan salah satu leader jaringan penjualan produk SBI, merupakan permasalahan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan bisnis ini."

"Kami sudah menilik dari aduan yang masuk dan bahkan omzet penjualan sepanjang beberapa waktu sejak masalah ini timbul dan viral." Thea kembali menelan ludah. "Teman-teman tidak perlu takut, karena tidak ada yang berubah dan kepercayaan masyarakat terhadap produk dan perusahaan tetap tinggi. Hal itu karena bisnis kita ini adalah bisnis jaringan yang terdiri dari banyak jaringan kuat yang terus menyuarakan soal produk berkualitas dan bisnis berjejaring yang solid."

"Salah satu downline saya naik level bulan kemarin, di saat masalah—yang teman-teman semua tahu—sedang banyak diperbincangkan. Ini berarti juga semakin meneguhkan keyakinan bahwa keberhasilan teman-teman ada pada tangan dan kegigihan teman-teman sendiri, bukan kepada siapa upline teman-teman. Saya hanya membantu membukakan pintu bisnis dan mendukung impian kalian dengan kelas-kelas, serta bimbingan. Dan yang terakhir soal permasalahan saya ..." Tha menunduk. Rasanya sedikit berat membicarakan permasalahan pribadi di hadapan orang asing. Namun, ia tak punya pilihan sekarang.

"Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada teman-teman dan pihak SBI yang mungkin karena hal ini membuat kepercayaan kepada saya berkurang atau hilang. Saya sungguh menyesali apa yang terjadi."

"Benar, saya hamil." Sesaat Thea menjeda suaranya, sebab riuh terdengar dari orang-orang di bawah sana. "Saya tahu benar apa yang saya lakukan keliru dan tidak pantas ditiru. Dan kalau ada yang bertanya kondisi sekarang, beberapa waktu yang lalu saya terkena komplikasi kehamilan yang membuat saya kehilangan anak yang saya kandung. Anak saya meninggal."

"Untuk hal pribadi, saya rasa saya cuma bisa berbagi hal tersebut kepada teman-teman. Yang perlu digaris bawahi, dengan saya berdiri di sini, saya ingin meminta maaf sekali lagi kepada semuanya. Maaf karena mengecewakan, maaf karena membuat kegaduhan, maaf karena saya belum jadi leader yang baik buat kalian. Terakhir, saya berterima kasih kepada teman-teman yang masih memberikan saya kepercayaan. Sekarang saya siap untuk berbisnis kembali bersama teman-teman, setelah pembelajaran hidup yang luar biasa menempa saya. Saya berjanji akan lebih hati-hati nantinya, dan memperbaiki diri. Semoga kita bisa berjalan lagi bersama dari awal. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran buat semuanya. Terima kasih banyak."

***

"Jujur, sepanjang hamil memang sering banget pusing dan mual, Kak," ucap Thea kepada Sania, di tengah-tengah kunyahan.

"Apa lo kepikiran Arini?" tanya Sania kemudian.

Thea mengerutkan dahi, lalu menggeleng. "Enggak kayaknya."

"Lo tahu, dia sampai ngehasut orang buat keluar dari jaringan lo." Sania tampak kesal menceritakan hal itu kepada Thea. "Pas dia nyerahin surat buat gabung sama jaringan gue, jelas gue tolak. Sikap dia yang begitu mana bisa berbisnis dengan bersih?"

"Oh, lo tolak, Kak?" Nilam memelotot.

Sania mengangguk, seraya mengunyah sushi. Lalu setelah menelan lumatan, ia kembali bicara. "Gue ikut belajar, sih, dari kejadian ini. Kita bisnis sama orang, filter alam, sih, pasti terlaksana, siapa yang bakal bertahan siapa yang bakal gugur. Tapi kalau kita enggak punya filter sendiri juga begini akhirnya. Kita terlalu fokus sama satu orang yang gerogoti energi. Padahal bisnis jejaring itu harus mengelola sekian kaki. Enggak bisa fokus sama satu yang bikin pusing."

Sania menghela napas. "Tapi sekarang kondisi lo gimana, The? Masih sering pusing?"

Thea menggeleng. "Enggak sesering waktu hamil."

Sania memegang tangan Thea, lalu mengelusnya lembu. "Turut berduka cita, ya, The. Gue kaget banget waktu lo cerita di panggung tadi."

"Thank you, Kak." Thea kemudian mengarahkan pandangan ke sushi di depan mereka. "Mau tambah nggak? Selama hamil gue enggak pernah makan sashimi."

"Dibayarin, kan?" tanya Nilam, yang tersenyum tanpa malu-malu.

Thea tersenyum melihat kelakuan sahabatnya itu. "Iya. Gue yang bayar."

"Sip." Nilam langsung menegakkan badan, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari petugas restoran. Namun, tiba-tiba Nilam membalik badannya.

"Kenapa?" tanya Sania.

Thea keheranan sebab Nilam menatapnya dengan raut muka aneh. Sontak, Thea pun hendak mengarahkan pandangan ke sisi belakang Nilam. Namun, belum sempat Thea menoleh, Nilam lebih dulu memalingkan muka Thea dengan tangannya. "Lo makan aja. Salad lo masih ada, kan. Makan itu dulu."

"Eh, itu?" Sania yang kini menatap ke arah belakang Nilam, lalu mengarahkan pandangan ke Thea.

Karena penasaran, Thea pun mendongak. Tepat saat itu pula pandangan Reza mengarah kepadanya.

"Za, kita duduk di mana?"

Thea menunduk, begitu Lily mendekat dan menggandeng tangan Reza. Ada rasa tak nyaman yang menyembul tiba-tiba.

"Gue beli sashimi di supermarket aja. Kita cabut sekarang, yuk?" ucap Thea, seraya mencangklong tasnya.

"The, lo enggak apa-apa, kan?" tanya Sania.

"Enggak apa-apa. Yuk," ajak Thea, sambil mendahului beranjak menuju ke meja kasir.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Thea sama sekali menghindari menatap ke sisi meja pengunjung, dan memantapkan diri keluar dari resto itu. Namun, baru beberapa langkah keluar dari pintu untuk menghampiri Nilam dan Sania yang berdiri di dekat eskalator, tangan Thea ditarik oleh seseorang. Sontak, perempuan itu menoleh karena terkejut.

"The, gue bisa jelasin," ucap Reza.

"Jelasin? Enggak ada yang perlu dijelasin." Thea melepaskan genggaman Reza di pergelangan tangannya.

Menatap Reza dalam jarak sedekat ini mengingatkannya ke masa di mana mereka kehilangan anaknya. Di masa terpuruknya, yang ia lihat hanya wajah ini saja. Wajah yang menanggung duka pula, yang terasa berbeda seperti saat mereka pertama berjumpa.

"Gue sama Lily enggak balikan atau apa. Kita cuma—"

"Lo enggak ada kewajiban apa-apa buat jelasin itu ke gue, Za." Thea menggeleng. "Gue bukan siapa-siapa lo. Kita juga sepakat, begitu sampai Jakarta, kita bisa melanjutkan hidup atau balik ke kehidupan semula sendiri-sendiri. Jangan nengok ke belakang."

"Enggak mungkin, The," ucap Reza.

"Za?" Lily memanggil dari belakang tubuh Reza. Sontak, Thea yang menyadari sedang mengganggu acara memilih untuk berbalik tanpa bicara. Meninggalkan Reza yang entah bersikap apa.

Thea tersenyum kepada Nilam dan Sania. Senyum seolah ia tidak merasakan apa-apa, kendati ada rasa berbeda yang menyembul tiba-tiba.

Tentang Cinta Tanpa SemulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang