Pagi buta, keributan mencelikkan mata Thea. Perempuan itu menyalakan lampu, kemudian mengecek jam digital di atas nakas. 2.14 dini hari. Meski kantuk masih melekat erat, mau tidak mau Thea beranjak dari kasur, lalu meraih kain hangat yang tersampir di bangku riasnya. Ia menyalakan lampu, bergegas berjalan menuju suara ribut-ribut di depan rumahnya.
"Theaaa!"
"Keluar, lo! Gue mau ngomong sama lo!"
"Kita nikah sekarang aja terus cerai! Biar gue bisa nikah sama Lily nanti!"
Tepat saat pintu terbuka, Reza ambruk di bawah kakinya. Thea membelalak, sebab kerumunan orang berada di depan sana.
"Gue mau nikah sama Lily," rengek Reza.
"Mbak Thea, ini masnya sudah mau kami bawa ke kantor polisi," ucap Pak Seno, kepala keamanan perumahan.
"The, gue nggak mau hancur," ucap Reza lagi, sambil meraih kaki Thea.
Perempuan itu menarik kakinya, lalu berjalan menghampiri beberapa bapak-bapak dan Pak Seno yang berada di dekat mobilnya. Thea berdeham. "Pak, saya minta maaf karena teman saya bikin keributan jam segini."
"Dia mabuk, Mbak. Kita bawa ke kantor polisi saja, takutnya membahayakan Mbak Thea," ucap Pak Seno.
Thea menoleh ke belakang. "Enggak, Pak. Saya jamin saya akan aman."
"Benar? Malah saya sekarang khawatir sama Mbak"
"Dia enggak akan berani macam-macam sama saya." Thea melirik ke arah rumahnya. "Apalagi dia sudah tenang sekarang. Kayaknya dia malah ketiduran di situ."
Salah satu tetangga Thea, bapak berkumis mendekat. "Tolong lain kali, jangan seperti ini Mbak. Mengganggu warga yang sedang istirahat. Kali ini kami biarkan, tapi kalau sampai terulang yang rugi Mbak sendiri kalau sampai bermasalah sama warga yang lain."
"Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," ucap Thea.
"Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya, Mbak. Saya stand by di pos," ujar Pak Seno sebelum akhirnya pamit.
Setelah itu, orang-orang yang mulanya berkumpul di depan rumah Thea membubarkan diri.
Perempuan itu pun menghampiri Reza yang terlentang di ambang pintu rumahnya. Thea menghela napas panjang kemudian menendang pelan kaki Reza.
"Za, bangun," perintahnya. "Woi, bangun. Jangan tidur di sini."
Reza hanya mengerang, lalu menutup wajahnya dengan lengan. Melihat hal itu, Thea melangkah pelan-pelan di antara sela-sela pintu dan tubuh besar Reza. Perempuan itu berjalan ke dapur, dan mengambil gelas yang kemudian diisinya dengan air.
"Bangun, cepet!" ucap Thea, sembari menciprati muka Reza.
Akhirnya, pria itu terbangun setelah Thea hampir mengguyurkan air lebih banyak ke mukanya. Reza terduduk, lalu menoleh ke perempuan itu.
"Lo mau di sini, masuk, atau balik sekarang?" tanya Thea, ketus.
Reza mengusap wajah basahnya, lalu berpindah ke sofa. Merebahkan dirinya di sana tanpa bicara apa-apa, bahkan tanpa melepas sepatunya. Thea yang melihat tingkah pria itu hanya menggeleng lalu menutup pintu. Dibiarkannya Reza tidur di sana, sedang Thea bergegas kembali ke kamarnya.
Ia mengunci pintu dari dalam. Kantuknya sepenuhnya hilang, berganti dengan ucapan Reza yang pria itu pekikkan tadi.
Nikah sekarang lalu cerai! Biar gue bisa nikah sama Lily nanti.
Tentu ia tidak memiliki rasa cinta atau emosi sejenis itu kepada Reza. Namun, entah kenapa rasanya aneh sekali. Ada semacam nyeri, ada semacam kekecewaan dalam diri. Sakit sekali.
***
Matanya terbuka, dan mendapati dirinya sedang berada di ruangan asing. Reza terperanjat, lalu mengucek mata. Pening di kepalanya terasa ketika ia hendak mengangkat pantat untuk sekadar mencari tahu apa yang telah terjadi padanya. Hingga kemudian ia menyadari, kalau ia berada di rumah Thea.
Reza berjalan ke arah suara lamat-lamat seperti aktivitas manusia lain di sisi menjorok area rumah. Perempuan pemilik rumah ada di sana. Di dapurnya, berdiri membelakangi Reza.
"The," panggil Reza. "Kok gue ada di sini?"
"Memangnya lo enggak inget pagi jam dua lo bangunin warga, teriak-teriak di depan rumah gue?" Thea tidak membalik badan.
"Gue? Teriak-teriak?" Reza berjalan mendekat, kemudian duduk di stool. "Gue teriak-teriak apa?"
Sejenak Thea tampak menghentikan kegiatannya. Perempuan itu sedikit menoleh. "Lo bener-bener enggak inget?"
"Enggak. Kepala gue pusing. Gue cuma inget kalau gue kebanyakan minum semalam." Reza memijat kepalanya yang terasa berat.
Tadi malam, lepas menghabiskan sesi penampilannya, ia memang meminta Wisnu menyediakan minuman buatnya. Hingga tanpa ia sadari, alkohol yang ditenggak melebihi kontrol tubuhnya. Namun, Reza memang menginginkannya. Yang jadi masalah adalah, bagaimana ia bisa ada di rumah Thea? Beruntung ia tidak menabrak pohon atau melibatkan orang lain yang tidak bersalah dalam kebodohannya lagi kali ini. Namun, tidak ada yang menjamin keberuntungan akan hinggap kepadanya lagi nanti. Sungguh, Reza menyesal.
"Ini diminum." Thea menyodorkan secangkir minuman yang asap panasnya masih mengepul. Sari jahe. "Gue punya obat sakit kepala kalau lo mau. Tapi sebelumnya mending lo sarapan dulu. Sudah jam delapan pagi."
Kali ini Thea kembali berbalik. Perempuan dengan baju tidur terusan warna putih itu tampak cantik meski tanpa riasan. Rambutnya yang diikat acak-acakan ke atas kepala tampak terang terkena sinar matahari pagi. Sungguh, Thea tampak begitu ....
"Sandwich buat sarapan lo."
Sontak, ucapan Thea barusan membuyarkan pikiran kotor yang berjejal di otak Reza. Bisa-bisanya, dengan kepala yang berdenyut efek alkohol semalam, masih saja ada ruang liar di kotak-kotak benak.
"Thanks," ucap Reza, seraya mengaitkan jemari ke gagang cangkir, lalu mengangkat benda itu.
"Gue siapin handuk sama sikat gigi kalau-kalau lo mau mandi sebelum balik. Di situ." Thea menunjuk sofa di depan teve. "Kamar mandi tamu di sana. Gue mau mandi di kamar gue."
"Oke," tanggap Reza.
Reza menoleh ke kamar mandi yang berada di belakang sofa di mana Thea meletakkan alat mandi untuknya tepat begitu perempuan itu menutup pintu. Ia menghela napas panjang. Ingatannya terhenti saat terakhir kali Wisnu menampar pipinya biar ia bisa sadar dan pulang. Setelahnya, sungguh Reza tidak ingat.
Pria itu mengusap wajahnya, lalu turun dari stool. Namun, baru akan meraih handuk di atas sofa, kehadiran seseorang mengejutkan Reza.
"Loh, Reza? Christian Syahreza?" tanya perempuan yang berdiri di ambang pintu. "Kok lo di sini? Thea mana?"
Reza menunjuk kamar Thea. "Cari Thea? Dia lagi mandi, eh, maksud gue dia lagi di kamarnya."
Perempuan itu berjalan mendekat kepada Reza, lalu meletakkan barang yang digenggamnya di atas sofa. Setelah saling tatap tak lama-yang sialnya tidak ada keramahan pada sorot matanya-perempuan itu melangkah ke kamar Thea. Diketuknya pintu itu sembari memanggil-manggil nama orang yang ada di dalam sana.
Tak lama, pintu kamar Thea terbuka, dan perempuan itu masuk meninggalkan Reza yang terpaku dengan apa yang barusan terjadi.
Denyut di kepalanya tidak mereda, Reza pun meraih alat mandi lalu memasuki ruangan yang tadi ditunjuk Thea. Dalam kucuran air hangat, Reza mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, termasuk racauan apa yang ia bilang. Nihil. Ingatannya sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama.
"Brengsek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Cinta Tanpa Semula
RomanceGaris dua itu mencelakkan Thea. Ia hamil. Dengan gemetar, ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia melakukan hubungan itu. Ingatannya tertuju kepada kejadian dua bulan yang lalu. Christian Syahreza! Pertemuan dengan perempuan berambut merah di A...