Haloo, maaf ya telat sehari. Jadi, hari ini aku naik satu bab lagi. Selamat membaca
^^
"Kagak bisa, Yan. Anak gue barusan meninggal, lo yang bener aja. Gue enggak mungkin ninggalin Thea kemarin-kemarin. Tahu. Kelab baru itu kemarin telepon gue. Rencananya besok gue balik."
Kendati lirih, suara Reza tetap saja terdengar kalut. Pria itu pun tampak mondar-mandir di teras. Entah apa yang terjadi padanya, yang pasti pria itu terdengar membicarakan sesuatu yang tampaknya penting. Thea menunduk di balik pintu ruang tamu yang tidak tertutup rapat. Telinganya jelas mendengar percakapan Reza dengan seseorang di seberang sana.
"Tahu, Yan. Gue bakal berterima kasih banget sama lo kalau dia sama sekali enggak mikir berita soal gue dan tetap mau terima gue di kelabnya, makanya besok gue coba ngobrol lagi sama owner-nya. Ngomong-ngomong, Yan, gue bisa minta tolong?"
Kali ini suara Reza sedikit lebih jauh, lebih pelan, lebih lirih.
"Sepuluh juta," ucap Reza sayup-sayup. "Bulan depan gue ganti. Gue butuh bayar apartemen, dan kalau gue pakai duit di rekening dengan kondisi job perform yang belum pasti, yang ada gue bisa mati."
"Nyokap? Enggak bakal gue pinjem duit ke orang rumah. Oke."
Apakah karena masalah ini dia sungguh-sungguh kehilangan semua pekerjaan? Seketika ingatan Thea tertarik ke masa di mana terakhir kali ia dan Reza bertengkar di rumahnya, tepat sebelum kepulangannya ke Salatiga.
Jadi dia benar-benar kesulitan?
Belum sempat Thea beralih dari tempatnya berdiri, Reza lebih dulu membuka pintu. Sontak, pandangan mereka kembali bertemu. Reza tampak terkejut dengan Thea yang tak kalah kaget melihat sosoknya.
"The?"
Thea berkedip beberapa kali, lalu menghela napas. Ia terlanjur ketahuan tanpa sengaja menguping pembicaraan. "Lo butuh duit berapa?"
"Duit?" Reza mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"Sepuluh juta? Dua puluh juta? Whatsapp nomor rekening lo, gue transfer sekarang." Thea hendak beralih, tapi tangan Reza menahannya. "Kenapa?"
"Lo denger gue telepon barusan?"
"Gue enggak sengaja denger." Thea melepaskan tangan Reza dari tangannya. "Gara-gara gue juga lo mesti kehilangan kerjaan sampai mesti pinjem duit buat bayar apartemen. Biar gue ganti."
Reza menggeleng. "Gue enggak minta."
"Tapi lo butuh duit, kan?" Thea melangkah meninggalkan Reza, menuju kamarnya.
Namun, rupanya Reza sama sekali tidak mau melepaskan Thea. Saat perempuan itu hendak menutup pintu, tangan Reza lebih dulu menahannya.
"Kata lo, apa yang terjadi waktu itu adalah perbuatan kita berdua. Dengan segala konsekuensinya, dengan segala hal baik atau buruknya, mestinya ditanggung berdua." Reza membuka pintu kamar Thea, lalu berjalan masuk tanpa perempuan itu minta. "Gue akui, perbuatan itu adalah perbuatan terbodoh yang pernah gue lakukan. Gue memang kehilangan semuanya. Kerjaan, pacar, kepercayaan orangtua, duit, bahkan anak kita. Jadi, please ... jangan bikin gue tambah tersudut dengan sikap lo yang begini. Gue ikhlas, The. Sudah sangat ikhlas dan enggak apa-apa banget gue kesusahan sekarang kalau itu akhirnya bisa menebus kesalahan gue. Please, jangan bikin gue semakin tidak berguna juga di hadapan lo."
Thea sejenak terdiam. "Terus mau lo apa?"
"Sebelum gue balik, gue mau ngobrol dulu sama lo."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Cinta Tanpa Semula
RomanceGaris dua itu mencelakkan Thea. Ia hamil. Dengan gemetar, ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia melakukan hubungan itu. Ingatannya tertuju kepada kejadian dua bulan yang lalu. Christian Syahreza! Pertemuan dengan perempuan berambut merah di A...