Bab 14

714 53 8
                                    

"Nikahi dia sebelum anak itu lahir," tegas Ray.

"Pa!" Inge menggebrak meja, lalu berdiri. "Aku enggak terima, ya, kalau sampai rencana pernikahanku dengan Dito batal karena ini."

Diasti menarik tangan anak perempuannya. "Duduk, Nge. Kamu enggak bisa egois."

Mulut Inge terbuka. "Egois? Aku egois, Ma?!"

Napasnya memburu. Tatapannya tajam mengarah kepada Ray, Diasti, dan Reza. "Selama ini, seumur hidupku aku sudah menuruti semua kemauan Mama dan Papa. Rangking satu setiap tahun? Oke. Masuk sekolah terbaik? Aku masuk. Les piano klasik? Aku selalu dapat skor tertinggi. Kuliah kedokteran? Aku kubur cita-citaku jadi pianis dan masuk kedokteran kayak yang kalian mau. Aku selalu di rumah. Aku enggak pernah bikin kalian datang ke sekolah karena aku berbuat ulah! Kenapa aku selalu yang dikalahkan di sini?! Kenapa aku harus mengalah bahkan buat masa depanku sendiri, lagi-lagi karena tingkahnya Reza?!"

"Inge!" Teriakan Ray membahana ke penjuru ruangan.

Bibir Inge bergetar. Matanya berkabut kekecewaan dan kemarahan yang tidak mampu lagi ia tahan. Diusapnya bulir yang akhirnya jatuh, sambil menoleh kepada adiknya. Kemudian, tanpa mengucapkan apa-apa, Inge berbalik lalu pergi meninggalkan rumah.

"Kak, tolong kali ini aja lo ngerti posisi gue," ucap Reza.

Inge berbalik, lalu menunjuk tepat di hidung Reza. "Lo ngaca, bego! Lo itu yang mestinya ngerti posisi gue! Apa harus gue hamil duluan biar bisa nikah?! Sampai rencana pernikahan gue dan Dito gagal karena lo, seumur hidup gue enggak bakal mau lihat batang hidung lo!"

Inge mengambil tas yang tergeletak di sofa ruang teve dan kunci mobil di atas meja. Di antara langkah besar-besarnya keluar dari rumah orangtuanya, Inge mengusap air mata yang terus luruh.

Ia memasuki mobilnya dengan emosi yang tidak terbendung lagi. Dipukulnya setir, sambil berteriak menumpahkan amarah. Sungguh ia kecewa, sebab segala rencana indah yang telah ia rancang kembali lagi sia-sia sebab ulah adik laki-lakinya.

Ia mengusap air matanya di tengah sengal. Diambilnya ponsel di tas, lalu menggulirkan jemari di layarnya.

"Beb, kita bisa ketemu sekarang?" tanya Inge, begitu sapaan terdengar dari seseorang di seberang sana. "Aku ke kantor kamu, ya? Aku mau bicara soal rencana pernikahan kita."

***

Harusnya hari ini adalah hari di mana ia bisa sejenak pulang ke rumah mamanya untuk sekadar makan malam seperti hari-hari libur biasanya. Namun, kali ini pantatnya tidak terangkat dari stool sejak pukul delapan. A club yang restonya memang buka sejak pukul enam tetap jadi tempatnya melepaskan penat pikiran. Sebenarnya bisa saja Reza pergi ke kelab lain, tapi entah kenapa secara tidak sadar tangannya di setir tadi mengarahkannya untuk datang ke tempat di mana ia biasa mendulang rupiah.

Pikirannya kalut. Mamanya bilang Inge pun tidak pulang, tentu tidak akan pulang kalau Reza juga datang. Pertemuan keluarga yang membahas soal permasalahan Reza seminggu yang lalu berubah jadi area pertengkaran. Reza pun akhirnya hanya menghabiskan hari demi hari di balik botol minuman setelah menandaskan waktu tampilnya.

Reza menatap ke meja di mana ia dan Thea bertemu waktu itu. Rahangnya menegang seketika. Tangannya mengepal. Otaknya kacau sepenuhnya. Satu kebodohan yang paling fatal dalam hidup telah menghancurkan segala rencana yang ia susun baik-baik. Bahkan bukan hanya rencananya, tapi juga rencana Inge.

Ah, brengsek! Reza menjambak rambutnya kala segelas minuman berwarna coklat terang disodorkan seseorang. Pria itu mendongak.

"Muka lo kusut, enggak enak dilihat." Wisnu, bartender berambut gondrong, yang jadi bartender favorit Reza sejak pria itu menginjakkan kaki di A Club duduk di sebelahnya. "Lagi ada masalah sama cewek lo?"

Tentang Cinta Tanpa SemulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang