Setelah hampir sepuluh menit menunggu, suara pintu yang terbuka akhirnya membuat Reza berbalik badan. Sosok perempuan yang mengenakan rok terusan longgar warna hitam tanpa lengan itu diam saat mata mereka bertemu. Sepersekian detik, perempuan itu berbalik, dan lebih dulu berjalan. Pintu yang terbuka lebar seolah jadi tandanya menyilakan Reza.
Terima kasih kepada kecanggihan teknologi. Usai tahu dari mamanya nama Thea, ia pun akhirnya bisa menemukan nomor telepon perempuan itu dari media sosialnya.
Perlahan, Reza memasuki ruang tamu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang terdepan ini tampak sederhana dengan sofa panjang bergaya scandinavian berwarna abu-abu dengan meja bulat dan karpet yang berwarna senada menyambut langkah Reza. Pria itu lantas berhenti di tepi sekat yang memisahkan ruang tamu dengan ruangan lebih dalam serupa deretan tiang dengan rongga yang cukup lebar. Dari tempatnya berdiri itu, Reza mampu melihat perempuan yang ia temui tengah berada di balik kithcen island, tampak sedang meracik minuman.
Ia pun berbalik, lalu duduk di sofa. Tak lama, ponsel di sakunya bergetar. Reza mendengkus ketika melihat nama Ian ada di sana.
"Yan?" Reza duduk mencondong ke depan. Tangan kirinya menggaruk kepala belakang. "Kenapa lagi?"
"Lily telepon gue, katanya lo enggak bisa dihubungi sejak beberapa hari ini."
Reza menghela napas, matanya memejam sambil menyandarkan punggung ke sofa. "Gue lagi pingin sendiri."
"Lo ada masalah sama dia?"
"Kagak. Yan, lo ngatur schedule sama kerjaan lo aja, enggak perlu ngatur hubungan gue sama Lily segala," ucap Reza, ketus.
Tidak terdengar tanggapan apa-apa dari seberang sana, hingga Reza membuka mata dan tampak Theodora menurunkan secangkir teh di atas meja. Reza menjauhkan ponsel dari telinga, lalu memutus sambungan percakapannya dengan Ian.
"Thanks," ucap Reza. "Jadi nama lo Theodora."
"Thea," potong perempuan itu. "Panggil Thea aja."
Reza mengangguk, sedangkan Thea duduk di bangku bundar kecil di muka pembatas ruang tamu. Reza langsung mengarahkan pandangan ke perut Thea, lalu mengusap wajahnya.
"Keluarga gue minta kita datang dan bahas masalah ini," ucap Reza.
"Bukannya lo sendiri yang bilang ini bukan anak lo? Kenapa gue harus datang ke keluarga lo?" Tatapan Thea tajam. Sungguh, Reza bingung dibuatnya. Perempuan berambut merah itu kemudian memalingkan muka.
"Gue enggak mau, dan enggak merasa perlu bahas masalah ini sama lo atau keluarga lo," pungkas Thea.
"Oke, anggaplah itu anak gue!" Emosi Reza mulai tersulut.
Thea kembali memalingkan pandangan ke Reza. Namun, sungguh tampak sangat tenang, seolah suara kencang Reza barusan tidak menggoyahnya sama sekali. "Anggap?"
Reza menghela napas, frustrasi. Beberapa detik mencoba menenangkan diri, Reza akhirnya kembali bicara. "Gue tanya, dan gue minta lo jangan tersinggung, oke? Apa selama ini cuma gue yang pernah tidur sama lo?"
"Sepuluh tahun terakhir ... iya." Thea tampak membuang muka, tangannya menutup area perut. "Terserah lo mau percaya atau enggak, mau mengakui atau enggak. Tujuan gue kasih tahu lo soal kondisi ini awalnya cuma buat anak ini."
Pandangan Thea kembali bertemu dengan Reza. "Gue enggak minta dinikahi. Gue enggak minta nafkah buat anak gue. Gue bisa jamin anak ini hidupnya enggak bakal susah. Gue cuma jaga-jaga sewaktu-waktu anak ini tanya siapa bapaknya, dia enggak menerima penolakan dan bikin dia terhukum atas kesalahan gue sebagai orangtua yang bikin dia ada di dunia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Cinta Tanpa Semula
RomanceGaris dua itu mencelakkan Thea. Ia hamil. Dengan gemetar, ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia melakukan hubungan itu. Ingatannya tertuju kepada kejadian dua bulan yang lalu. Christian Syahreza! Pertemuan dengan perempuan berambut merah di A...