Bab 26

668 50 1
                                    

Matanya mengerjap-kerjap ketika sinar matahari membelai dari lubang-lubang ventilasi. Thea meraih ponsel, hanya untuk melihat penanda waktu di sana. Hampir pukul delapan pagi. Rekor bangun paling siangnya baru saja terpecahkan.

Perempuan itu bangkit duduk, lalu menyandarkan punggung ke tembok. Ia merasakan matanya begitu berat dan bengkak. Pasti karena menangis semalaman sampai ketiduran. Ia menunduk, mencoba mengingat lagi kapan terakhir kali ia menangis sampai begini. Waktu Ibu meninggal?

Berhari-hari ia mengurung diri, bukan hanya karena duka yang menyelimuti benak. Lebih dari itu, rasa bersalah menjeratnya demikian rupa. Tidak pernah Thea merasa seperti ini. Air matanya tidak pernah habis untuk menangisi anak yang belum sempat dipeluknya. Maaf saja rupanya tidak menenangkan rasa bersalah itu.

Thea kembali mengusap air mata yang menetes. Ia menghela napas. Sepintas, bayangan Reza yang memeluknya dan mengusap lembut punggungnya hadir seolah-olah apa yang dilakukan pria itu barusan terjadi.

"Bukan salah lo."

"Bukan salah lo"

"Bukan salah lo"

Tentu ia tidak pernah mendapat pelukan dan ketenangan yang begitu bahkan ketika kedua orangtuanya tiada dulu. Ia ingat benar, bagaimana ia tidak membiarkan tangisnya tampak oleh siapa-siapa. Namun, kenapa semalam berbeda?

Sekeras itu Thea mulai menghilangkan bayangan Reza di kepalanya. Berupa untuk menegaskan kewarasan yang ia tekankan di otaknya. Bayangan itu kemudian sirna ketika ketukan pintu terdengar nyaring, berikut dengan suara yang memanggil namanya. Barusan ia berupaya mengenyahkan bayangannya, rupanya sosok nyata justru yang kini berganti ada.

"Gue beli bubur ayam," ucap Reza, begitu Thea membuka pintu. "Sarapan dulu."

Pria itu tersenyum, lalu mengode Thea dengan kepala untuk mengikuti langkahnya. Mau tak mau, Thea pun menuruti apa yang dimau Reza.

"Gue ke kamar mandi dulu," ucap Thea, berbelok ke lorong menuju kamar mandi, membiarkan Reza lebih dulu menempati bangku meja makan.

Dalam setiap lakunya, Thea mencoba mengenyahkan prasangka. Hingga kemudian ketika membasuh muka, ia pun membiarkan senyuman Reza memenuhi benaknya.

"Dia cuma mencoba bertanggung jawab." Thea menatap bayangan diri di cermin. Ditelisiknya sungguh-sungguh apa yang ia rasakan. Marah, dan kecewa, dan sedih, dan merasa tidak layak untuk bahagia nantinya.

Diambilnya udara banyak-banyak, lalu dihembuskannya perlahan dari mulut. Diulang-ulangnya begitu, seraya memanggil kata-kata Reza semalam.

"Bukan salah lo." Thea menelan ludah, memeluk dirinya. "Dan, bukan salahku."

***

"Bona bilang dia balik besok. Jadi lo bisa balik ke Jakarta hari ini," ucap Thea, begitu selesai menandaskan bubur ayam di depannya.

"Lo yakin?" Reza menumpuk mangkuknya dan mangkuk Thea, kemudian menggeser benda itu, jadi ia bisa leluasa memandang perempuan di hadapannya. "Kondisi lo belum-"

"Gue enggak apa-apa, Za," tegas Thea. "Sudah selesai tanggung jawab lo. Sekarang lo bisa mulai hidup baru, atau balik ke hidup lo yang lama kalau lo mau."

Balik ke hidup yang lama?

Reza bersungut-sungut mendengar ucapan Thea. Bagaimana ia bisa kembali ke kehidupan lama? Padahal waktu adalah sesuatu yang mutlak. Apa yang terjadi memang seumpama membalikkan keadaan semula, tapi tentu tidak sama. Tidak akan pernah sama. Hidupnya, kariernya, bahkan perasaannya. Seratus persen berbeda dari semula, dari sejak Thea mengungkapkan kehamilannya sampai ketiadaan anak mereka.

Tentang Cinta Tanpa SemulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang