Halo, selamat siang ...
Hanya suara ricik air kolam ikan yang lantang. Aroma teh hijau yang menggelitik hidung pun rupanya gagal penggoda empat orang yang duduk berhadapan dua-dua untuk segera menyesapnya dan bicara soal bahagia. Raut muka mereka tegang. Seolah larut dalam genangan pikirannya masing-masing yang bisa ditebak keruh oleh persoalan.
"Apa pun yang terjadi, saya minta maaf atas kesalahan yang dilakukan anak kami ke Thea," ucap Dokter Diasti dengan suara bergetarnya. Matanya berkaca-kaca. Dari jarak tak seberapa jauh saja Thea bisa menerka kalau perempuan paruh baya ini pasti menghabiskan malam dengan tangisan sebab sembab dan bengkak matanya. Seketika pikirannya mengandaikan sesuatu yang sesungguhnya enggan ia bayangkan. Apakah ibunya pun akan demikian merana dengan kondisi ini? Apakah Ibu akan sedemikian kecewa terhadap anak perempuan pertamanya?
Thea menelan ludah. Ia menunduk, kuku ibu jarinya menekan-nekan telunjuk. Hingga kemudian pertanyaan Dokter Ray terdengar di telinganya lagi.
"Jadi, bagaimana rencana kalian setelah ini?"
Sontak Thea mendongak. Apakah Reza tidak mengatakan apa-apa kepada kedua orangtuanya? "Rencana? Maksudnya?"
"Menikah. Memangnya apa lagi?" Dokter Ray bergantian menatap Thea dan Reza. "Bayi itu butuh orangtua dan lingkungan yang baik untuk bisa berkembang menjadi manusia yang baik."
"Pa-"
"Saya tidak bisa menikah," ucap Thea memotong Reza. Semua pasang mata sontak menatap heran kepadanya. "Pertama, saya tidak mau menikah dengan orang yang tidak mengakui anaknya. Kedua, saya tidak mau menikah dengan orang yang tidak saya kenali sungguh-sungguh."
"Thea, kamu ... serius?" tanya Dokter Diasti.
Thea mengangguk. "Pernikahan itu hal yang kompleks dan tidak bisa dianggap sepele seperti sekadar menutup aib, Dokter. Kalaupun saya mau menikah, pasti saya akan memilih menikah dengan seseorang yang sudah saya yakini menjadi pendamping hidup saya sampai tua dan saat saya benar-benar siap dengan segala konsekuensinya. Makanya walaupun saya sudah cukup berusia, menikah tidak ada di rencana hidup sampai setidaknya beberapa tahun ke depan. Saya-"
"Jangan bercanda kamu." Suara Dokter Ray terdengar begitu dingin. "Dan dengan pemikiranmu, masa depan anak itu akan dipertaruhkan."
Thea terdiam sejenak. Ia menyediakan waktunya untuk mendengarkan ucapan demi ucapan Dokter Ray. Pria itu membenarkan kacamatanya, lalu bersedekap sembari menyandarkan punggung ke bangku.
"Apa kamu kira uang saja cukup untuk mendidik seorang anak?" tanyanya.
"Saya tahu itu tidak akan pernah cukup, Dok. Tapi saya akan berusaha membesarkannya dengan sebaik mungkin," ucap Thea.
Dokter Ray mendengkus, lalu menggeleng pelan. "Kami ini keluarga yang dipandang bahagia. Sekali lagi saya tekankan, DIPANDANG BAHAGIA DAN HARMONIS. Berpendidikan, berada, akur satu dengan lainnya. Saya dianggap sukses karier dan keluarga oleh orang-orang di luar sana. Tapi kejadian dan kejadian-kejadian lain yang tidak kamu tahu membuat apa yang dicitrakan oleh orang-orang di luar sana keliru. Asal kamu tahu, saya bisa bilang kalau saya gagal sebagai orangtua. Kedua anak saya tidak pernah benar-benar akur, saling tuding tanggung jawab. Bahkan anak laki-laki saya berandal, sering buat ulah sejak kecil, dan sekarang kamu tahu sendiri apa yang terjadi."
Thea melirik ke Reza yang menunduk. Muka pria itu pucat pasi. Namun, tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
"Saya sadar kalau apa yang salah lakukan adalah sebuah kesalahan. Saya ceroboh, dan imbasnya saya mengacaukan hidup. Bukan cuma hidup saya tapi Anda sekeluarga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Cinta Tanpa Semula
RomanceGaris dua itu mencelakkan Thea. Ia hamil. Dengan gemetar, ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia melakukan hubungan itu. Ingatannya tertuju kepada kejadian dua bulan yang lalu. Christian Syahreza! Pertemuan dengan perempuan berambut merah di A...