Bab 11

714 50 5
                                    

Coklat di hadapannya sudah tidak lagi panas. Laptop di atas meja pun tidak ia sentuh sejak menyala dan menampilkan latar belakang gambar daftar impian. Pikirannya tertinggal di rumah sakit. Terpaku di pintu darurat dekat ruang praktik Dokter Diasti.

Thea menunduk, memandang perutnya yang mulai tampak membusung. Dokter Diasti bilang bayi dalam perutnya sehat sekali. Dokter lemah lembut itu bilang, jagoan hebat inilah yang nantinya akan gantian jaga mamanya. Masih lekat benar dalam ingatan, bagaimana muka dokter kandungannya itu semringah menerima kedatangan Thea sebab perempuan itu memilih untuk merayakan kehidupan setiap detiknya bersama si bayi.

Namun, setelah semuanya terungkap kini, akankah perlakuannya sama? Sebab yang menghamilinya adalah anak kandung Dokter Diasti. Raut muka dokter—yang kepadanya Thea bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya sejak semula—tampak begitu berbeda. Ada kebingungan, ada kemarahan, dan yang terbesar di antaranya ada kekecewaan yang mendalam. Sorot dan air mata yang tidak pernah ia lihat, benderang beberapa jam lalu.

Perempuan itu menghela napas, lalu meraih cangkir coklatnya. Beberapa saat kemudian, hasrat buang air kecil terasa lagi. Thea mengambil tisu dan ponsel di dalam tas, lalu beranjak.

Baru berjalan lima langkah dari bangku tempatnya duduk, Thea hampir saja terjatuh sebab tertabrak seseorang dari belakang. Perutnya mengenai bangku di depan. Sontak, Thea menoleh sembari mengelus perutnya yang terasa sakit karena hantaman barusan.

"Eh, maaf," ucap perempuan berambut panjang sepinggang yang mengenakan rok terusan warna hitam ketat sepaha. Perempuan itu langsung menoleh ke temannya, lalu menunjuk Thea. "Rin, lo dorong gue, gue nabrak mbaknya."

"Ya, maaf. Gue enggak sengaja," ucap perempuan satunya.

Perempuan itu kembali mengarahkan pandangan ke Thea, tapi kali ini tertuju ke perutnya. "Eh, Mbak lagi hamil? Astaga, saya minta maaf, ya, Mbak. Tadi kami bercandanya kelewatan sampai kena Mbak. Sakit enggak? Atau kita mau ke dokter?" tanya perempuan berambut panjang.

Mulanya Thea sempat terpaku karena perempuan di hadapannya terasa begitu familier. Ia seperti pernah melihat sosok ini tapi di mana?

"Mbak?" sapa perempuan itu lagi.

"Eh, iya?" Thea berkedip beberapa kali. "Saya enggak apa-apa, kok."

"Sungguhan? Kalau sakit, kita ke dokter dulu. Di dekat sini ada rumah sakit," bujuknya lagi.

"Terima kasih, Mbak. Tapi sungguh, saya baik-baik saja. Kandungan saya juga sepertinya tidak ada masalah. Tadi nabraknya enggak terlalu kencang, kok."

Perempuan itu pun tersenyum, lalu mengangguk. "Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mbak."

Thea tersenyum, lalu undur diri menuju ke toilet. Dalam langkah-langkahnya, ia mencoba mengingat wajah perempuan yang menubruknya barusan. Penampilannya sangat menarik. Kulitnya kecokelatan begitu eksotis, postur tubuhnya ideal, rambutnya panjang berkilauan, tampak rutin perawatan, senyumannya pun terasa ramah meski terasa aura kelas atasnya. Apakah dia artis?

Kafe ini memiliki dua ruang toilet. Dalam ruang toilet perempuan, terdapat dua bilik dan satu wastafel dengan kaca bundar berpigura rotan. Thea duduk di atas toilet, lalu berupaya mengenyahkan pikiran soal perempuan yang tadi bertemu dengannya. Buat apa ia berupaya keras, toh nanti akan lupa lagi.

Perempuan itu menggeleng, kemudian setelah selesai dengan urusan toiletnya ia keluar dari bilik. Rupanya, perempuan cantik yang tadi berinsiden dengannya ikut masuk ke ruangan itu bersama temannya.

"Eh, Mbak." Perempuan cantik itu tersenyum. "Toiletnya masih mau dipakai?"

"Saya sudah selesai, kok," jawab Thea, seraya menuju ke wastafel.

"Kalau sampai sekarang dia enggak bisa dihubungi, kata gue mending lo tanya Ian. Takutnya laki lo kecantol sama cewek lain," ucap teman si perempuan cantik sambil memasuki bilik satunya.

"Reza itu enggak mungkin macem-macem. Lo inget pas akun gosip naikin berita gue sama dia? Reza ngambek, Rin. Dia enggak suka jadi sorotan media gosip. Makanya, walaupun dulu kelakuannya enggak karuan gitu, dia tetap hati-hati."

Thea menoleh ketika mendengar ucapan si cantik barusan. Dua perempuan di dua bilik itu terus melanjutkan percakapan, sedangkan Thea terpaku di depan wastafel.

"Lagian gue sama Reza sudah rencana mau nikah tahun depan."

"Nikah? Karier lo berdua lagi naik-naiknya, loh. Lo enggak cuma dikasih omong kosong sama dia, kan?"

Bilik si perempuan cantik terbuka. Sosoknya keluar, tepat ketika Thea menatapnya. Sontak, Thea yang salah tingkah, menyalakan keran, lalu mencuci tangan.

"Hari ini Reza perform di Basement?" tanya perempuan satunya, yang langsung ditanggapi anggukan oleh si cantik.

Lekas-lekas Thea bergegas keluar dari ruangan itu lalu kembali ke mejanya. Reza?

Thea membuka Instagram, lalu mencari akun gosip yang pernah ditunjukkan Nilam kepadanya. Jemarinya bergulir di ponsel sembari otaknya mencoba mengingat nama akunnya.

"Shake? Bukan. Shock? Shock apa?" gumam Thea lirih, sembari terus mencoba menelusuri. "Ah, ini. Shockyou."

Thea mengamati video yang telah tersaji di layar menyala, lalu melirik ke perempuan yang kini sudah duduk di meja paling ujung. Benar. Perempuan itu adalah pacarnya Reza. Jemarinya mengetuk nama yang tersemat di banyak komentar unggahan itu. @lilysasmi.

Jemarinya bergulir ke foto demi foto perempuan itu. Sesekali ia membuka kolom komentar. Beragam pujian tersemat di sana dari para pengikutnya yang berjumlah ratusan ribu. Beragam merek ternama pernah dipromosikan olehnya. Citra perempuan cantik dan percaya diri, dan pintar tersemat kepadanya. Hingga beberapa komentar sontak membuat degup jantung Thea lebih kencang.

@unagigoreng_

Pantes @christiansyahreza jadi anteng banget, ceweknya spek angel begini.

@clara0202

Oke, gue mundur @christiansyahreza soalnya cewek lo cakep banget. Langgeng, ya.

@fahmiaja09

Kalo @christiansyahreza resek atau nyakitin lo, kasih tahu gue, Ly. Gue bakal bikin dia nyesel udah bikin bidadari gue nangis!

Thea mematikan layar ponselnya lalu mematikan pula laptopnya. Ia berkemas dan cepat-cepat keluar dari kafe. Begitu duduk di balik kemudi, Thea menyandarkan diri di bangku. Dalam pejamnya, ia merasa sungguh tidak nyaman. Ada kegundahan yang merisak benak. Kenyataan kalau Reza akan menikah dengan perempuan itu rupanya tetap saja membuatnya terganggu.

Bukan.

Ia bukan cemburu. Thea tahu persis hatinya tidak sedengki itu. Hanya saja, keadaannya benar-benar membuatnya galau setengah mati. Tentu anak ini berhak tahu siapa bapaknya, dan hal itu akan terjadi hanya jika Reza mengakuinya. Sedangkan di sana, ada seorang perempuan yang sedang merancang masa depan dengan bapak dari anak yang dikandungnya.

Astaga, apa yang mesti ia lakukan sekarang?

Menyalahkan keadaan dan kebodohan masa lalu, tentu bukan ide yang bisa mengangkat permasalahan dari bahunya. Thea mengusap wajah sebelum kemudian menoleh ke bangku sebelah karena ponselnya menyerukan tanda panggilan.

Perempuan itu mengesah, lalu meraih tasnya. Diambilnya benda pipih warna hitam yang menyala. Sebuah panggilan dari nomor asing terpampang di sana. Karena terbiasa dengan nomor-nomor asing yang menghubunginya karena masalah bisnis, tanpa pikir panjang, Thea pun menggulirkan jemari di tanda terima lalu mendekatkan beda itu ke telinga.

"Halo, selamat siang," sapanya.

"Thea?" Suara seorang pria terdengar dari seberang sana. Sontak, Thea mengerutkan dahinya,

"Iya? Maaf dengan siapa?"

"Gue Reza. Kita harus ketemu. Kalau bisa sekarang."

Tentang Cinta Tanpa SemulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang