Bab 22

697 53 16
                                    

Selamat malam, teman-teman ... jujurly, saya lagi agak mumet sama kerjaan kantor. Jadi, kurilisin satu bab lagi, yaaaa. 

Dan tadi sempet baca sedikit ada yang komen soal preklamsia,

ini keterangannya:

Preeklamsia ditandai dengan tekanan darah tinggi dan adanya protein dalam urine, namun tidak disertai kejang. Sementara itu, eklampsia adalah kondisi ketika ibu hamil mengalami tekanan darah tinggi yang disertai dengan kejang.

Kalau teman-teman baca di bab-bab sebelumnya, Thea kerap mengeluh pusing, mual dan muntah dan ada pembengkakan di kakinya, nah itu adalah beberapa ciri-cirinya. 


***


Rumah sakit pernah tempat paling ia benci. Sebab buat Reza kecil, orangtuanya lebih kerap berada di sini ketimbang menemaninya bermain. Papanya bilang pekerjaan yang dilakukannya adalah pengabdian kepada kehidupan. Pengabdian kepada harapan dan doa-doa paling murni dan tulus di ruang tunggu.

Kali ini ia kembali merutuk diri. Namun, bukan karena mesti menginjakkan kaki di rumah sakit dan menemui orangtuanya. Bukan pula karena ia harus melanglang buana ke kota asing, tapi karena ia mesti melihat sosok mungil kemerahan dalam peti kecil.

Reza menelan ludah. Tangannya gemetaran. Matanya memanas. Ia tak kuasa menahan air matanya. Sengalnya nyata, sampai-sampai sebuah tepukan lembut dipunggungnya seraya mengucapkan dukacita sama sekali tidak mengobati luka yang tiba-tiba ada.

"Turut berduka cita, Pak," ucap seseorang yang ia kira adalah salah seorang petugas, yang kemudian membiarkannya larut dalam duka.

Reza mengusap air matanya, lalu meraih ponsel yang sejak tadi bergetar di kantung celana.

"Ma," ucapnya berusaha menahan tangis. "Anakku meninggal."

"Za? Astaga, Za. Terus Thea bagaimana?" tanya Diasti.

"Belum sadar, Ma. Aku mau ngurus pemakaman dulu. Nanti aku kabari lagi."

Tepat begitu Reza menyudahi pembicaraan singkat dengan mamanya, Bona, adik Thea mendekat. Muka pria itu tampak tak kalah sendu.

"Saya sudah hubungi tetangga untuk membantu mengurus pemakaman," ucap Bona. "Sebaiknya kita ke rumah dulu."

Reza mengangguk. Kemudian, sebelum mereka pergi ke rumah Bona, Reza meminta waktu sebentar mendatangi kamar inap di mana Thea berada.

Pria itu duduk di sebelah perempuan yang masih belum sadarkan diri setelah operasi. Ditatapnya lekat-lekat wajah pucat dengan selang oksigen membingkai. Diraihnya tangan Thea. Dingin.

"The, maaf." Reza mengusap air matanya dengan lengan baju. Diciumnya tangan itu, seraya meminta ampun atas segala yang terjadi pada mereka. Ia tahu segalanya telah terlanjur terjadi. Namun, sungguh ia terasa tersiksa dengan rasa bersalah yang bertubi-tubi mengempasnya. Mencabik-cabik dirinya seolah apa yang ia lakukan adalah perbuatan paling keji sedunia. Belum lama memang, ia bergumul dengan permasalahan ini. Namun, realitas yang barusan terjadi sudah telak membuat Reza tersungkur. Kematian putranya nyatanya tidak serta merta mengangkat tanggung jawab yang bertengger di bahu. Sungguh, andai pun ia bisa memutar waktu, ia tidak akan meragukan apa pun soal Thea dan bayi yang dikandungnya. Ia akan menuruti apa yang Thea bilang kalau itu bisa membuat keduanya baik-baik saja. Ia akan berupaya menekan egonya, dan menunggu sampai waktu mengiyakan upaya untuk bersama.

"Mas, ayo."

Reza sedikit menoleh, lalu meletakkan tangan Thea kembali ke atas ranjang. Ia beranjak dari bangku, kemudian berjalan keluar kamar inap Thea. Langkahnya lunglai menyusuri koridor demi koridor. Menjemput seorang manusia mungil, kemudian mengantarkannya lagi ke Pencipta yang membuatnya ada, meski belum membuka matanya untuk sekejap mencicip dunia.

Tentang Cinta Tanpa SemulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang