Bab 1: Porter

210 15 15
                                    


Jakarta, 2033

Nada pemberitahuan di ponsel terdengar beberapa kali. Sambil mengenakan jaket biru tua yang tampak kekecilan di tubuh, aku melirik ke layar dan membaca pesan dari Asosiasi Venator.

[Dungeon Event akan dimulai pukul 15.00 WIB. Seluruh Venator yang akan berpartisipasi harap berkumpul di Stasiun Jakarta Kota pukul 14.00 WIB].

Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua, aku masih punya cukup banyak waktu sebelum keberangkatan ke dalam dungeon.

Aku memandang wajah bundar berlemak yang memantul di cermin gantung. Kedua alisku tebal seperti Shinchan, hidungku pesek dengan kedua mata sipit karena terhimpit lemak pipi. Sambil mengenakan kacamata kotak dengan frame hitam, aku merapikan poni rambut yang gelap.

Padahal model rambutku sudah cukup trendy mengikuti gaya coma seperti Oppa-Oppa Korea. Apa daya, kata teman game online-ku malah terlihat seperti babi yang mengenakan topi mangkok.

Aku beralih mengenakan rompi coklat yang dibuat dari kulit monster dungeon. Ada bekas tusukan di sana sini, tali pengikatnya bahkan sudah lepas tapi masih berusaha kurekatkan dengan lem. Tidak lupa aku mengambil perisai abu super tipis yang sudah penyok dan lecet di beberapa bagian.

Walau bentuknya menyedihkan, aku tidak bisa membuang perisai ini. Bukan karena perisai ini benda berharga, tapi harganya sangat mahal. Dengan uang yang kumiliki sekarang, aku bahkan tidak bisa membeli perisai dengan kualitas yang kurang lebih sama dari ini.

Lalu aku menyampirkan tempat pedang di pinggangku yang lebar. Pedang dengan panjang lengan orang dewasa itu tampak seperti mainan anak-anak di sebelah pinggangku. Penampilanku tampak konyol, tapi ini SOP yang harus dipenuhi untuk bekerja sebagai Venator.

Semakin rendah tingkat Venator, semakin ketat prosedur kesalamatan yang harus dipatuhi.

"Oke, waktunya bekerja, Arka," gumamku, menyemangati diri sendiri.

Aku turun ke lantai satu dan menyapa Tante Tara yang sedang nonton TV di ruang tamu.

"Tante, aku berangkat dulu ya!" ucapku seraya memakai sepatu.

"Hati-hati, Arka! Jangan pulang bawa luka lagi ya!" balas Tante Tara disertai nada bergurau.

Tante Tara adalah adik Ibuku, tapi mereka bagai bumi dan langit. Sepertinya Tante Tara mendapatkan gen terbaik dari nenek dan kakekku. Rambut ikal coklatnya digerai ke punggung, kulitnya masih kencang di usia kepala empat. Tubuhnya bagus dan ia cocok mengenakan pakaian apa pun. Senyumnya membuatku seperti ingin berlari ke pelukannya untuk menceritakan berbagai keluh kesah.

Aku menutup pintu rumah dan berjalan ke depan kompleks perumahan. Tidak lama, ojek online yang kupesan datang dan kami langsung menuju ke Stasiun Jakarta Kota.

Siang hari yang panas dan terik di Jakarta, kota tersebut seperti menjadi medan perang panas. Jalanan yang biasanya sudah padat menjadi lebih parah saat siang hari. Mobil-mobil dan motor-motor berjajar panjang, berusaha bergerak maju dalam laju yang sangat lambat. Klakson terdengar berdentam-dentam di sepanjang jalan, mengiringi desah putus asa para pengemudi yang terjebak dalam kemacetan. Panasnya suhu membuat para pengendara terlihat gerah dan berkeringat di balik setir mereka.

Motor ojek online akhirnya sampai di stasiun. Aku mengelap keringat di dahi yang sudah banjir. Kalau bukan karena pekerjaan, aku pasti malas keluar rumah siang-siang begini. Sesampai di depan Stasiun Jakarta Kota, sudah banyak sekali Venator yang berkumpul.

Di tengah lapangan berdiri tenda-tenda merah tua milik Asosiasi Venator. Asosiasi Venator adalah organisasi yang bekerjasama dengan pemerintah. Tugas utama mereka adalah melindungi masyarakat dari ancaman monster dungeon. Mereka menciptakan sistem Peringkat Venator, melakukan pemetaan lokasi dan memberi kabar kemunculan dungeon. Organisasi ini juga menjadi fasilitator bagi para pedagang yang berniat melakukan jual-beli material dari dungeon, mulai dari bahan baku obat sampai bahan bangunan.

Train to The DungeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang